Kopiah di Hati Rahma

Dokumentasi pribadi

Aku kembali melihatnya. Laki-laki berkopiah merah itu. Tengah asyik membaca buku di depan rumah Bang Jefri. Bang Jefri itu tetanggaku. Pemuda satu-satunya di kampung kami yang nekat kuliah di kota besar.

Ini kali kedua aku melihatnya, aku baru pulang dari mengajar di TK Ass'addah di kampung sebelah. Aku tidak tahu, entah kenapa suka melihat dia membaca. Dia orang asing yang yang terasa tidak asing. Tahu sendiri cuaca Madura jam segini, membakar tanah kami. Aku saja sampai ngos-ngosan. Boro-boro mau membaca buku coba, sudah panas duluan. Kalau sampai rumah yang dicari, kalau kipas angin ya air es.

Sesungguhnya aku penasaran dengan laki-laki itu. Dia terlihat manis dengan peci itu. Si Diah, temanku yang paling centil, cerita, laki-laki itu namanya Mahyu. Asli Pandeglang. Banten. Gitu katanya. Percaya gak percaya, ya harus percaya juga, rumah dia dengan Bang Jefri dekat benar. Sepelemparan batu. 

Cukup aneh juga, kenapa laki-laki baca buku. Gak baca-baca kitab seperti Cak Iman misalnya putera Ibu Nyai di Pondok. Terus kenapa namanya Mahyu bukan Wahyu, yang populer itu Wahyu. Ada apa dengan peci merahnya, kok unik ya? Eh, kok aku memikirkan dia! IIh, apa sih.

"Rahma!" Ibu memanggil dari dapur.

"Iya, Bu, ada apa?" Aku segera menghampirinya ke dapur.

"Maaf ya, ibu ganggu istirahatnya. Tolong belikan penyedap rasa ke warung. Ini uangnya. Cepat ya."

"Ya, bu."

Segera aku berlari kecil ke warung Ibunya Mbak Arfati. Mau tidak mau aku melewati rumah Bang Jefri. Malu sih, takut ada laki-laki dari Banten itu, untungnya tidak ada. Hanya ada segelas kopi hitam di sana dan beberapa buku  tergeletak. Ah buku, sebegitu gilanya dia membaca. Jadi lupa, kapan terakhir aku membaca buku.

Di warung ada Mbak Arfati yang lagi mengulang hafalannya. Warung memang lagi sepi. Salut memang sama senior di pondokku ini, di mana saja dia bisa mengefektifkan waktunya. Dia tak sadar kalau ada yang beli. Aku diam mendengarkan.

"Astagfirullah Rahma! Kamu ini bukannya bilang kek, assalamulaikum kek," sahutnya dengan sebal karena mengagetkan wirid-nya. Aku hanya tersenyum.

"Lagian Mbak serius banget. Dari tadi berdiri diabaikan. Aku beli Masako dong empat lembar."

"Terus apa lagi?"

"Itu saja Mbak. Buruan ya Mbak soalnya Ibu nunggu."

"Semuanya Rp. 2.000."

Aku menyerahkan uangnya dan langsung pergi.

"Gak mampir dulu."

"Lain kali ya Mbak, penting soalnya. Nanti kena semprot ibu," kataku. Dia hanya tersenyum.

Ibu segera menaburkan penyedap itu. Harum makanan tercium segera sehingga membuat perutku menagih jatah.

"Kamu tadi ketemu sama tamu Bang Jefri itu Dek?" ibu bertanya di sela kesibukannya. Aku hanya menontonnya. Begitu cekatan. Ibu baru yang amat perhatian kepadaku tapi kadang setengah hatiku mempersoalkan hadirnya. Entahlah.

"Tidak Bu, barangkali lagi di dalam. Cuma ada segelas kopi dan buku-buku."

"Sudah ganteng itu laki-laki, pintar lagi. Jarang ada di kita baca buku macam gitu. Kalau Ibu masih muda pasti sudah kesemsem," lirihnya sesekali mencicipi, memastikan rasa sayur kesukaan bapak.

"Apan sih Bu, kedengaran bapak nanti baru nyaho. Awas nanti Rahma kasih tahu ke Bapak," ancamku yang membuat ibu senyum-senyum; aslinya aku pun bercanda pula.

"Ke mana Bu?"

"Siapa yang ke mana, laki-laki dari Banten itu?"

"Eh, maksudnya bapak Ibuuuu! Kok laki-laki berpeci merah itu sih," teriakku yang membuat ibu tertawa.

"Hafal benar ya, padahal gak nanya juga," ejeknya. 

Kupingku terasa panas dan mukaku merah seperti kepiting rebus. Mungkin akan lebih gurih kalau disatukan masakan Ibu. Hikh! Untungnya aku terselamatkan dengan datangnya bapak di belakang.  

"Sudah sana, bereskan meja makan. Kita makan bareng, bapak sudah datang tuh!" 

***

Sebal aku, masa hari ini pulang sendiri. Mbak Arfati dan Diah biasanya menemani, tapi tadi dapat jadwal piket. Terpaksa, aku pulang. Sendiri tanpa ada yang menemani. Tanpa rindu, tanpamu di sini.

Ah, kok melakonis begini. Mungkin efek udara yang puanas buanget atau apa. Apa ya, masa iya. Sudahlah terus berjuang, melangkah. Semangat jiwa. Tadi tuh, bikin greget anak-anak. Terutama laki-laki. Disuruh menari Saman, tari asli tanah rencong itu, eh mereka joget ala tiktok.

Apalagi laki-laki, ya Allah, masa joget ngebor macam biduan dangdut gitu. Aduh Mamah, dasar anak-anak. Sukses aku dibuat tertawa. Mengajari anak-anak itu memang punya tantangan sendiri. Butuh kesabaran ekstra. Kata siapa hanya rindu yang berat, mengajari generasi penerus bangsa lebih berat. Apalagi mengantarkannya sampai ke jalan surga, berat sekali. Dengar tuh, Dilan!

"Assalamulaikum," suara di belakang mengagetkanku. 

Dan kalian tahu siapa itu? Ya, laki-laki itu berhenti dengan senyum manis di atas motor Bang Jefri. Tidak kalah kaget, dibelakangnya ada Si centil Diah tersenyum penuh kejahilan.

"Wa-walaikum.. salam kak," kataku terbata.

"Biasa saja sih Rahma, jangan gerogi gitu!" seru si Diah. Kalau berdua sudah aku timpuk tuh bocah.

"Baru pulang ya," katanya tersenyum, "Kok sendirian?"

"Iya, lagi pada dapat piket di madrasah, jadi masih tertahan di sana."

"Lah, aku enggak!" Lagi-lagi si Diah berulah.

"Duluan ya, hati-hati," katanya, yang entah seperti ada kecemasan, dia kembali mengendarai motor. 

Aku hanya mengangguk, mempersilahkan. Diah malah tertawa kegirangan. Girang banget dia seolah dapat kejutan. Tepatnya tertawa mengejekku. Kalau sudah gini aku hanya bisa diam menahan sebal. Sebal kenapa Diah beruntung banget. Panas matahari siang ini terasa lebih sejuk daripada panasnya hatiku yang merana.

Setelah sampai di rumah aku langsung masuk ke kamar. Mengunci diri. Betapa beruntungnya jadi Diah. Dia periang, manis dan aktif. Rasanya mudah banget dia mendapatkan apa yang diinginkannya.

Sedangkan aku apa? 

Ibuku sudah dijemput Izrail sedari aku kecil. Ya, ibu sudah wafat sekarang adalah ibu baru bagiku. Harus aku akui, selama ini aku tidak kekurangan kasih sayang.  Ibu baruku sudah mengangap seperti buah hatinya. Saudaraku apa lagi, aku bersyukur memiliki mereka. Bapak orang yang paling memahamiku. 

Hanya saja, aku ingin Ibu. Aku rindu ibu. Aduh Ibu, rindukah engkau di sana?  Bu, kenapa kehilanganmu sesakit ini.  Bapak bilang ibu tidak pergi, ibu ada di jiwamu. Ibu selalu ada di hatimu. Tiba-tiba, semua menjadi gelap. 

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar Nak," ibu berkaca-kaca melihatku.

"Rahma kenapa Bu, kok ramai gini?"

"Kamu tidak sadarkan diri dari kemarin. Bapak lupa memberitahu kamu."

"Iya Dek, di rumah gak ada siapa-siapa. Untung ada tamu kita ini," Bang jefri menunjuk ke seseorang yang duduk di sampingku. Entah kenapa tak kusadari.

"Kenapa Kak Mahyu," bibirku tanpa bisa kucegah mengatakan itu. Semua mata melihatku. Mereka heran. Aku apalagi. Risi sekaligus  malu.

Bang Jefri pun menceritakan kronologi pingsan-ku. Laki-laki di sampingku hanya tersenyum. Tersenyum seolah membuat semuanya selesai. Apa gak tau semua mata diarahkan ke aku, Rahma!

"Kamu gak sopan Dek, jangan diulang lagi. Masak ada tamu jauh-jauh dari Banten sana kamu abaikan," bapak menatapku tajam. Kaget aku.

"Siapa tamu itu?"

"Ternyata kalian sudah pada kenal. Tiga hari sama-sama diam. Ingat ya, itu bukan kebiasaan keluarga kita," tegas bapak.

"Itu salah saya," aku menjawab berbarengan dengan laki-laki berkopiah merah itu.

Semua melihat kami meminta penjelasan. Aduh, rahasia kami terbongkar. Sejujurnya aku rindu, rindu banget. Tapi aku belum siap. Ah, sesak sekali dada ini. Apa rindu seberat ini? (**)

Dokumen pribadi

Pandeglang,  11 Mei 2023   19.58

Posting Komentar

0 Komentar