Peristiwa Sakit yang Kutemui

Kunjungan kelas menulis kemarin, sunyi sekali (Sumber Pribadi)


Aku dapat kabar dari teman di Rumah Dunia katanya Mas Gol A Gong sakit; tadinya mau minta tanda tangan untuk antologi Fikmin bersama beliau. Qodarullah, habis operasi ringan di rumah sakit. Belum bisa ditemui, semoga beliau cepat sembuh ya. Apalagi tugas sebagai Duta Baca Perpusnas pasti menanti.

Sepulang dari Rumah Dunia, aku tidak langsung santai menikmati segelas kopi dan membaca buku-buku target bulan ini. Sebelum Maghrib dapat kabar dari adikku bahwa Bapak Gede--- kakak ipar nenek-- tidak mampu bangun dan tergeletak sebagaimana almarhum kakek dulu.

Kaget banget. Badan sudah was-was tak karuan, bergetar tak tentu. Jadwal sesudah Magrib terpaksa dibatalkan. Sesudah salat langsung ke rumahnya yang tidak jauh juga. Karena memang hanya berdua, aku dibuat miris.

Berak di tempat, kencing di tempat dan sudah tak berdaya. Saat aku bantu, sarung dan bajuku terciprat kotoran. Seisi rumah penuh najis. Saat aku mengabari ke anak-anaknya, tak lama hape nge-drop. 

Mau salat najis semua; mau pulang ditahan karena agak takut, ditanamlah di sana sampai jam sepuluh lebih. Baru pulang dengan letih, lelah dan lapar. Malamnya Emak batuk, batuk yang kadang ada. Besoknya dikabari dia yang sakit memaksa ingin mengajar walau kondisi tubuhnya tidak memungkinkan setelah diinfus tetap memaksa, ya sudah aku tidak komentar.

Rasanya hari itu lengkap. Lengkap dengan kecemasan tapi siapa yang tahu atau tepanya ingin tahu, pada akhirnya hanya disimpan dengan rapi di draf jiwa. Biarkan pemilik semesta tahu, ya cukup Allah yang tahu. 

Dari hal yang menguras rasa ini, setidaknya aku mengambil banyak ibrah; pertama, sakit adalah keharusan. Sebab itu bentuk ujian yang al-Qur'an sendiri banyak menyinggungnya. Datangnya bisa karena sebab diri atau bisa tanpa sebab, Allah maha Kuasa atas hamba-Nya. Menjadi masalah siapa yang tidak mau memahami takdir.

Kedua, sehat akan lebih terasa bagi siapa yang mau mensyukurinya. Ada banyak cara untuk tahu rasa nikmat sehat, bisa dengan sakit lebih dulu atau rajin menjenguk orang sakit. Biasanya mudah tersentuh, sedikitnya merenungkan betapa mahalnya rasa sehat. 

Ketiga, saat omongan kita tidak didengar seharusnya jangan marah. Siapa kita omongannya selalu ingin didengar? Kalau kita yang kerapkali dikecewakan oleh orang, terus jauh mulia siapa kita yang para Wali Allah saja bahkan para Rasul ada yang tak didengarkan risalahnya?

Seharusnya sebagai pembawa misi suci tak boleh dong risalahnya tidak dianggap apalagi diacuhkan, nyatanya tidak begitu. Para rasul bukan kita yang mudah sekali baper (baca: bawa perasaan), mereka sudah matang dan kaya jiwanya. Itulah bedanya dengan kita yang kadang marah, ngambek dan membenci karena merasa istimewa dari 7 miliar penduduk dunia ini.

Oleh karena itu, malam ini aku ingin merenungkan dan mencoba mengambil ibrah dari apa yang membuat jiwaku tersedot emosinya. Malam ini ya, untuk mendapatkan hakikat hamba terpuji harus punya proses. Proses itu yang kadang kita inginkan tapi tak mau diambil resikonya. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang,  13 Juni 2023     21.08

Posting Komentar

0 Komentar