Saat Wanita (tidak) Mau Mengalah

Saat wanita (harus) mengalah
Ilustrasi Sekelompok Wanita di alun-alun Pandeglang (sum. Pribadi)

Tadi pagi aku berbelanja di Pasar Pandeglang. Saat berbelanja itu, pembelinya lumayan banyak. Rata-rata kaum wanita, tepatnya ibu-ibu. Ramai juga dengan udara panas bercampur bau comberan terhirup. Ramai kerapali emosi. Namanya wanita ya, selalu ingin dinomorsatukan. Tak peduli sudah ada yang lebih duluan antri.

Aku dan laki-laki yang kebetulan lebih duluan cuma diam. Diam sambil pura-pura tak peduli. Diam seolah alasannya memang benar. Penjualnya pun hanya tersenyum asem, lebih tepatnya kagok harus berbuat apa. Apalagi di skak dengan kata-kata,

"Laki-laki mah harus mengalah," kata seorang ibu yang entah siapa, ia juga pembeli.

"Ya, mengalah ya, tapi bukan selalu kalah, ya," kata si Akang Pedagang menimpali. 

Tersenyumlah kami, ya kaum laki-laki yang minoritas di sana. Mau apa, debat sama kaum ibu-ibu? Yang ada bukan menang tapi malu. Kalah pasti malu juga. Ya serba salah. Mungkin benar, harus diam.

Sekali dua kali bisa mengalah, kalau harus seterusnya maka secara tidak sengaja wanita menabrak rambu-rambu Al-Quran yang menempatkan laki-laki sebagai "Qowwam".  Secara bebas kita memahaminya pemimpin, pelindung, dan penjaga marwah kaum wanita. Kadar ini kadang sering diabaikan sehingga ada suami takut istri-wanita. 

Tiba-tiba aku ingat ceramah Gus Baha yang menceritakan sikap istrinya yang kadang marah terus Gus Baha diam saja. Gus Baha diam isterinya tambah marah. Lah, isterinya bingung, kok Gus Baha gak terpancing juga balik marah. 

"Kalau sampeyan marah aku diam saja, dengan begitu aku dapat pahala sabar. Kalau aku lihat sampeyan senang dapat pahala juga, pahala syukur." Kata Gus Baha yang disambut ketawa jamaah.

Sayangnya aku bukan Gus Baha, tidak sealim belaiu dan tidak punya jamaah. Tapi aku mahabbah, insya allah. Kadang suka tersulut emosi juga menghadapi sikap wanita, selebihnya memang benar mending diam. Diam untuk pura-pura tak ada apa-apa. Menunggu dingin agar nanti lebih nyaman diobrolkan.

Menyikapi sikap wanita yang "ingin menang sendiri" butuh seni mengelola kesabaran dan ilmu, tanpa itu berakhir di pengadilan atau memang putus hubungan. Jengkel sih, ya semoga saja menguap saat membaca sambil nahan kantuk. Hiks!


Seperti cerita di masa Sayidina Umar bin Khattab yang sudah masyhur, kala seorang warganya ingin lapor, tepatnya curhat terkait tingkah dan sikap isterinya "yang rewel" sehingga menyinggung harga dirinya sebagai lelaki. Siapa nyana, tepat di depan kediaman Khalifah ia tergagap, Khalifah pun dimarahi pula.

Tetapi jawaban Khalifah Umar yang luar biasa kepada warganya itu, beliau tidak memarahi justeru diam akan sikap isterinya. Ungkapan kekesalan wanita adalah tanggungan perasaan yang ia tampung begitu besar. Baik mengandung anak, melahirkan, mendidik, mencuci pakaian, memasak sampai mengatur keuangan keluarga. Sebagai pria sejati Khilafah memahaminya.

Akan tetapi hak istimewa ini bukan berarti membenarkan wanita bebas berbuat sewenang-wenang walau bagaimanapun semua harus sesuai porsinya. Laki-laki juga punya ego seperti wanita.

Sekali dua kali bisa mengalah, kalau harus seterusnya maka secara tidak sengaja wanita menabrak rambu-rambu Al-Quran yang menempatkan laki-laki sebagai "Qowwam".  Secara bebas kita memahaminya pemimpin, pelindung, dan penjaga marwah kaum wanita. Kadar ini kadang sering diabaikan sehingga ada suami takut istri-wanita. 

Untuk apa takut?

Takut hanya kepada Allah. Allah yang Maha Kuasa. Takut di depan isteri karena mengungkapkan kebenaran atau menunjukkan kebenaran dibenci syara'. Lain halnya kalau laki-laki salah atau keluar dari koridor kebenaran maka "takut kepada wanita" wajar, karena apa yang mau diperjuangkan kalau sudah salah. Laki-laki seperti ini kurang ajar, Kudu diajari atau dihajar!

Di sinilah perlunya laki-laki cerdas dan kudu pintar. Pemimpin bodoh tak layak diikuti tak peduli dia laki-laki. Bagaimana mau dianut menyelesaikan masalahnya saja tidak bisa, ya rancu dong?

Kalau terus wanita merasa "spesial", "istimewa", dan "ingin selalu didengar" maka ini sama saja egois. Egois sendiri di bahasa Yunani dimaknai "ke-aku-an'. Atau di bahasa disebut "Ananiyah". Singkatnya, aku paling benar dan baik.

Al-Quran sendiri mencatat hanya satu makhluk yang sering mengatakan "Ana khoiru minhu" artinya aku lebih baik dari dia adalah Iblis laknatullah alaih. Jelasnya, siapa yang merasa paling benar maka masuk ke konconya iblis. Hal ini bisa menyasar ke siapa saja, entah laki-laki atau wanita; entah aku atau kamu.

Tetapi aku percaya, sebaik wanita adalah mereka yang berakhlak karimah. Mendahulukan akhlak daripada ego semata. Wanita hebat mereka yang paham kodratnya dan mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Kalau surga ada di telapak kaki kaum wanita, maka itu penjelas wanita mulia siapa yang cerdas mengelola emosinya. kalau tidak, silakan pembaca simpulkan sendiri. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang mendung lagi,  13 Juni 2023    14.03

Posting Komentar

0 Komentar