Betapa Enak Menjadi Muslim

Potret keislaman menyejukkan. (Muslim Times)

Muslim yang baik itu mereka yang berusaha memahami agamanya dengan baik. Melihat dari banyak sisi agar lebih bijak. Ajaran bukan lagi beban sehingga taat membangunnya pada pemikiran juga sikap produktif. Semakin baik agamanya semakin senang mengkaji ilmu, semakin baik sikapnya.

Bagaimana tidak enak menjadi muslim? Islam agama yang perfeksionis, fleksibel dan humanis. Dikatakan perfeksionis, nyaris dalam Islam mengatur hukum dari hal kecil sampai luar biasa besar; dari masa sekarang sampai masa di mana langit-bumi hanya jadi cerita saja, hebatnya kita diberi tuntunan bagaimana agar selamat dari bencana maha besar itu. Tidak hanya faktor jasad Juga ruh.

Sedangkan fleksibel itu Islam sering memberi kemudahan-kemudahan. Misalnya, boleh bagi yang safar untuk "men-diskon" yang salat 4 rakaat menjadi 2 rakaat, bahkan menggabungkan salat menjadikan satu waktu. Apa itu cukup? Tidak juga, masih banyak. Di anjurkan untuk musolli kalau di depannya sudah dihidangkan makanan sekalipun tengah adzan di perbolehkan untuk makan lebih dahulu. Ini untuk menangkis gangguan saat salat ingat makanan.

Rukhsoh juga diberikan pada mereka yang ingin sudah ditarap cukup usia, cukup bekal dan punya calon untuk menikah. Menikah ini jalan keluar untuk "mencairkan sesuatu" juga menjaga keberlangsungan yang Ulama menyebut Maqashid syar'iyah: menjaga akal, jiwa, keturunan dan agama. Terlepas dari itu, hukum menikah ini tergantung keadaan juga; bisa sunah, wajib, mubah, bahkan bisa haram sebagaimana banyak di ilmu fikih.

Lantas bagaimana untuk mereka yang tidak satu jalan dalam pemikiran dan sikap dalam pernikahan, apa Islam tetap memaksa untuk bersama? Islam punya solusi, bisa dengan konsultasi pada ahlinya. Kalau tidak bisa mungkin cerai jadi jalan keluar. Itu pun prosesnya alot. Kenapa? Islam lebih memilih kesatuan, bagaimanpun pernikahan adalah gerbang lahirnya generasi unggul. Seberapa hebat anak selalu dimulai lingkungan keluarga yang harmonis lagi penuh cinta-cita, bukan berangkat dari bangunan rapuh tanpa mimpi.

Tentu saja masih banyak betapa Islam itu fleksibel, bisa dilihat Nabi saat menetapkan hukum tidak selalu satu suara. Misalnya tentang qunut, ada suara yang menolak ada pula yang membenarkan.  Terjadilah konses hukum: yang qunut boleh, yang tidak qunut pun boleh. Tergantung dalil mana yang digunakan. Tak ada soal, gak usah nyolot juga berbeda.

Terkait humanisme jelas ajaran Islam menuntun kita pada satu sikap yang jelas terkait nilai kemanusiaan. Saat muslim membunuh satu nyawa (tanpa dibenarkan syara) maka sama saja membunuh seluruh manusia. Itu pesan ayat suci yang pasti penduduk seluruh dunia akan setuju. Betapa mahal dan berharganya nyawa. Islam teroris, ya tunggu dulu!

Jangankan pada manusia, pada hewan sembelihan saja Islam mengatur seperti apa penyembelihan yang baik dan benar. Bahkan dianggap dosa memelihara binatang yang dikurung tetapi tidak diberi makan yang layak. Apalagi mengenai kemanusiaan, yang kata Nabi 'siapa yang menyayangi penghuni bumi maka akan disayangi penghuni lamgit'.

Dari tiga konteks di atas, tidak berlebihan kalau mengatakan Islam is My Way. Islam menjadi semangat ummat manusia agar kembali ke fitrah. Islam memang punya aturan tapi bukan untuk membunuh kreativitas. Segenap aturan itu ada untuk kita lebih nyaman dan aman, tidak hanya di dunia juga di akhirat sana. Kalau selama ini kita sudah Muslim terus belum mendapatkan keduanya, barangkali ada yang salah dengan metode keislaman kita? (**)

Pandeglang, 21 Juli 2023.    09.32

 

Posting Komentar

0 Komentar