Bunga di Ujung Agustus

Tentang bunga di bulan Agustus. (sumber Pixabay)


Di bulan ini (sejauh yang aku tahu) adalah bulan ke delapan kita berbagi rasa dan menyulam mimpi. Lumayan lama juga. Ada saat di mana kita saling marah, saling gemes, saling melengkapi dan coba membaca sikap masing-masing.

Tidak mudah mempertahankan ego masing-masing, di mana kita merasa benar sendiri. Ya, ini bulan ke delapan kita mendekap mimpi kita. Fase di mana kita berharap, terseok-seok membangun kepercayaan.

Betapa dua anak manusia terpisah usia, terpisah jarak dan terpisah corak pemikiran, ingin disatukan dalam naungan kerinduan. Itu seperti buah yang besar di kegersangan tanah penuh pasir. Tapi apa itu mungkin? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Pemilik Semesta.

Fase di mana kita masih "kakak-adek" itu proses meraba perasaan masing-masing. Kita ingin memiliki tapi takut, takut kenyataannya berbeda. Kita memegang rasa tapi tersulut emosi. Kita ingin bersama tetapi lebih suka bermain antar hati.

Membicarakan perasaan memang bukan soal teori ilmiah. Ada tahap simultan agar sampai pada kesimpulan. Perasaan adalah soal kamu berusaha saling memahami dan tidak berhenti bicara. Orang bilang cinta akan pudar sepanjang waktu bersama, mungkin benar tetapi untuk mereka yang tidak mau memupuknya.

Omong kosong kata cinta kalau kamu "tetap menutup diri" seolah hanya kamu yang perlu tahu, di sana orang yang mengharapkanmu mau terbuka apa yang kamu mau. Hubungan seperti ini seperti rumah tanpa jendela, hanya ada pintu terbuka, harus pula diketuk.

Di ujung agustus ini, aku masih menaman bunga itu. Selain itu, aku hanya berdoa, apa yang kita tanam seyogyanya menjadikan kita lebih peka dengan perasaan dan tidak lagi merasa benar kalau terhalang masalah. Biar semua menjadi bukti, waktu tidak menipu hasil. (**)

Pandeglang, 31 Agustus 2023    12.00

Posting Komentar

0 Komentar