Kain Kafan yang Saya Beli

Ilustrasi kain kafan yang seharusnya buat kita sadar bukan takut. (Sumber, blibi com)

Tadi pagi saya membeli kain kafan 4 meter. Satu meter harganya Rp. 20.000., semuanya Rp. 80.000. Kain itu sendiri titipan saudara Emak yang sudah kemarin sore meminta untuk dibelikan. Pagi ini, saya ingat dan saya belikan.

Sepulang dari membeli kain kafan itu tubuh saya panas dingin. Tetapi karena dari pagi subuh belum mandi, ya saya mandi walau tubuh tidak enak. Tubuh tidak enak bukan karena membeli kain kafan ya, barangkali perubahan iklim saja atau tadi malam begadang disambung diskusi dengan adik saya.

Menjelang dzuhur tubuh terasa lemas dan saya berbaring memeluk demam sendiri. Sisi lain saya ingat kain kafan, sisi lain saya ingat belum membaca juga menulis, tertidur lah. Sekitar pukul 13.00, saya bangun dengan rasa lapar dan belum salat.

Ketika bangun itu, lagi kain kafan menyerbu pikiran saya. Ah, dekat sekali kematian. Dekat sekali, entah kenapa belum terjaga. Kalau kita bangga dengan busana yang bagus lagi indah, saat pulang ke sana, hanya kain kafan abadi kita. 

Aku pun ingat dengan salah satu tetangga ku yang sepuh dan sudah pulang ke alam abadi di sana. Di masa kecilku itu, tetanggaku itu punya kain kafan untuk dirinya sendiri. Beliau menyiapkan kain kafan sebagai koleksi atau sebagai pengingat kalau ajal menjemput. Konon katanya, kain kafan itu tersimpan di lemari bajunya.

Tiap hari di lihat dan tengok, "Ini loh, pakaian abadi saya, eling!" barangkali begitu katanya. Dulu, saya dan kawan-kawan menceritakan ini disertai cerita horor, bilang katanya kalau malam gerak sendiri dan lainnya.

Tetapi sekarang saya paham, cara mengingat kematian ya kita menyediakan kain kafan itu. Kain kafan itu menjadi cambuk, motivasi juga ancaman terhadap diri agar menyadari, kita selalu di datangi Izrail sehari 7 kali. Berbuat baiklah, tajamkan iman, dan cukupkan ilmu untuk hadapi kehidupan ini.

Selama ini, kita percaya kain kapan akan jadi menjadi busana terakhir kita. Kepercayaan itu hanya sebatas itu, toh, dalam keseharian biasa saja. Akhlak kita, cara tutur kita, hati kita dan pikiran kita sering tak selaras dengan keinginan nurani kita. Putihnya kain kapan hanya jadi "ketakutan" bukan "kesadaran" untuk kita lebih merenungkan hakikat hidup ini!

Pikiran ini membuat saya teringat tetangga saya itu, ingin jua membeli kain kafan dan saya bawa-bawa. Bukan untuk pamer, tapi untuk saya menyadari seperti yang di tanyakan Fa'ang vokalis Wali Band ke Habib Umar beberapa hari lalu yang viral, 

"Dunia entertainment penuh dosa. Tetapi saat kami pulang dari Imron Umroh, sudah merasa seperti malaikat. Untuk itu, meminta wejangan atau amalan agar tetap kukuh memegang iman itu," di sampaikan nya dengan terisak-isak, yang ditanggapi senyum manis dari Habib Umar.

Saya pun tersenyum, tidak semanis beliau dan tak semanis senyum dia yang sedang hadir di majlis Habib Umar, di Gresik sekarang tengah berlangsung. Saya hanya bergumam, "Anna uhibbukum fillah!" (***)

Pandeglang, 22 Agustus 2023    15.2 

Posting Komentar

0 Komentar