Mau Apa? Ya Sudahlah.

Saat Jengkel terus terasa, yang ada, sudahlah. (Sumber: Pixabay. Com)

 
Sebenarnya aku ingin tidur. Mata sudah tak kuat terjaga, tapi aku tak bisa bohong untuk menulis ini, tak peduli ada yang membaca atau tidak. Tak peduli dipahami atau tidak, terserah. Ini soal sikap kita yang berbeda.

Aku merasa kanak-kanak kalau soal perasaan, hanya mendengar dia sakit serasa sebagian jiwa tercerabut begitu. Berbeda saat ibu sakit, aku masih bisa menjaga lisan tidak berkata-kata. Padahal di depan mata ia meronta-ronta kesakitan, aku jadi penonton seolah itu biasa saja.

Ini mengingatkan aku pada tahun yang lalu, pada tubuh yang telah mengandung ku sembilan bulan itu, tak kuat lagi bertahan dengan tangis yang hebat, busana di tubuh tak disadari sampai lepas, "bantu," kata bapak.

Aku diam, tak berani memeluk juga mendekati. Aku lebih takut dengan jiwaku, nafsuku, bukan memikirkan ia yang tengah tak sadarkan diri. Di situ aku merasa, kalau aku disebut mencintai Ibu, maka itu barangkali hanya "pura-pura". 

Buktinya, saat kamu tidak baik aku berusaha baik padahal mana bisa baik; tetapi jengkel ya sudah menguap jadi sesal: kenapa aku selemah ini? Kenapa sedalam ini? Kenapa sesesak ini? Kenapa harus, dan harus lagi meributkan seperti ini!?

Harusnya sikap itu yang aku berikan pada ibu juga, saat ia menahan sakit. Tapi aku tidak adil. Aku memilih memberi padamu, yang entah bagiamana, kok bisa. Aku merasa berdosa dengan rasa ini.

Aku bingung harus menyalahakan siapa dan harus aku pahami bagimana. Kurangnya apa? Ya sudahlah. Itu jawaban yang paling mudah.

Mau emosi harus sopan katanya. Mau jengkel sudah sering. Mau marah tidak pantas. Mau cemas yang dicemasi antara peduli dan tidak. Mau apa? Ya sudahlah.

Selamat malam jiwa. Baik-baik dengan jiwa tidak baik. Semoga cahaya mentari tak membuatmu terus... jengkel! (***)

Posting Komentar

0 Komentar