Rindu ke Kamu

Rindu tumbuh saat percaya dan yakin jadi kepalanya. (Pixabay. com)

Aku rindu kamu, seperti bumi yang gersang merindukan kucuran air langit. Ya, kucuran yang memberikan kesejukan mayapada.

Aku tidak tahu, apa rindu ini karena kamu cantik, kamu sederhana, kamu jauh, kamu yang setia menemani atau kamu yang perhatian. Aku hanya kangen seperti langit yang butuh bumi, atau seperti kamu butuh pakaian yang menjaga dari dinginnya kenyataan.

Saat kangen menyergap dan kamu lari entah ke mana, di sana dada serasa sesak luar biasa. Pikirakan cemas. Hati seperti tertanam obat gatal yang buat hariku tak tentu arah. Aku cari, ke mana kamu. Jarak begitu jauh dan keadaan lagi belum izinkan kita untuk melepaskan apa yang orang normal harap. 

Aku cari-cari, tapi nestapa terasa. Untuk apa aku cari kamu, bukankah kamu ada di hati ini. Ada di hatiku, menyatu dengan sanubari. Iya terpisahkan, namun kita tak berdusta bahwa sejauh apapun jarak, cinta adalah perekat jiwa.

Aku ingat saat membaca buku motivasi, di sana dikatakan, kenapa saat orang marah kalau bicara keras banget. Padahal lawan bicaranya dekat, di depan mata lagi.

Itu karena hatinya merasa jauh sekali, padahal fisiknya amat dekat. Hati yang terjeda emosi negatif. Begitulah kira-kira gambaran pecinta, kita lihat banyak yang memilih setia dan rajin menyiramnya dengan saling memahami dengan keterbukaan daripada main hati.

Padahal keksihnya jauh. Padahal kekasihnya tidak selalu ada untuknya. Padahal kekasihnya di saat tertentu tidak mampu memahami inginnya. Jangankan satu orang menggoda, bahkan seribu orang menawarkan apa yang dia inginkan, pecinta sejati ia yang mampu menjaga rasanya.

Begitulah rindu. Begitulah rasaku. Kamu tidak harus tahu seperti berat apa aku mempertahankan dan berusaha menjaga kesuburan cinta ini, saat di mana rindu menggelora, karena cinta adalah memberi ketulusan tanpa selalu meminta pujian belaka.

Ini rindu padamu kasih, seseorang yang ... bersyukur ingin menetap di sini (baca: hati). Entah bagaimana rasanya rindu pada rasul mulia, kekasih yang tak lekang masa, itulah Nabi Muhammad saw. menggelora melebihi rasa ini padamu, sayang.

Kamu jangan cemburu!

Tidak semua cemburu baik, tanpa landasan iman. Sudah selayaknya rindu kita pada rasul lebih besar, karena tanpa beliau kita hanya sebutir pasir tanpa nilai. 

Mungkin say, aku tidak seceroboh sekarang. Menghabiskan waktu demi pujian dan tujuan pribadi belaka. Aku membaca kalam suci hanya demi disebut sholeh. Aku yang rajin shalawat dan melakoni ajaran Nabi hanya demi disebut yang "paling nyunah". Aku yang rajin share kebaikan bahkan menuliskannya demi disebut "orang islami", mungkin pula ingin dipandang mulia.

Aku takut sayang, takut akan tumpukkan dosa itu. Ya, rinduku pada baginda Nabi hanya demi diriku, bukan demi pengungkapan rasa cinta abadi. Aku bisa menangis di keramaian saat kisah perjuangan Nabi diterangkan. Tapi siapa yang tahu, saat sendiri, menyepi dan ditemani sunyi, apa bisa aku menangis atau justeru takut kegelapan saja.

Itulah kenapa al-Qur'an menyebut "taatlah kepada Allah, rasul dan ulil amri di antara kamu", ini seolah mempertegas cinta berbentuk taat harus murni kepada Allah. Terus ke rasul dan pemimpin. Itu harus berurutan. Tidak boleh pura-pura.

Islam melarang menduakan cinta. Sebab menduakan adalah syirik. Islam tegas meyakini tauhid, satu untuk semua tujuan. Ketegasan seperti ini hendaknya kita pahami kejujuran adalah pangkal keharmonisan.

Itulah rindu yang menggelora saat Sayidina Umar mendengar Nabi wafat. Beliau kalap, bahkan mengancam siapa saja yang bicara Nabi wafat akan ditebas kepalanya. Beliau berujar,

"Nabi tidak wafat, tetapi beliau seperti Musa yang meninggalkan umatnya di gunung sinai selama 40 hari. Setelah itu akan kembali di tengah mereka."

Begitulah rindu, begitulah rasa sayang yang lahir di jiwa. Ia lebih lekat daripada perekat apapun. Meskipun pada akhirnya beliau tersadar oleh nasihat Sayidina Abu Bakar, bahwa yang abadi adalah Allah. Allah yang punya sifat kekal selamanya.

Oleh sebab itu, bersyukurlah atas nikmat rindu dan sayang. Jaga itu. Pelihara itu. Suburkan itu. Sebab, kita tidak tahu hari esok. Kita tidak tahu barang kali ada yang "menginginkan" apa yang kita rasa tapi mereka terus terluka dengan kenyataan pahit. Semua tidak ada yang abadi. Sandarkan rindu ini demi menggapai ridha-Nya bukan pemuas nafsu belaka.

Sepahit-pahitnya jamu bisa menyembuhkan, tapi sepahitnya kebohongan yang sadar kita lakukan, itu cukup melumpuhkan jiwa seseorang untuk terpuruk di sisa hidupnya. Jangan lihat kecilnya, tapi lihat dalamnya luka itu. Pahamilah ini sayang! (***)

Pandeglang, 21 September 2023   22.23

Posting Komentar

0 Komentar