Melihat Wajah Masam Orang Lain di Pikiran Kita

Wah, wajahnya masam tuh? (Pixabay. com)
__
Kita bisa menebak dalamnya lautan tapi tidak bisa mengukur dalamnya isi hati manusia. Begitulah kata pepatah lama. Kita bisa merasa tahu hati orang hanya apa yang dilihat dan didengar, tapi pada akhirnya kita tidak bisa menyelami jiwa seseorang. 

Itulah kenapa banyak terjadi kesalahpahaman. Kita "merasa tahu" seolah paham karakteristik itu orang. Atau memberi stigma yang buruk kepadanya sebab sikapnya, kita menyalahkan. Lupa yang salah siapa?

Itu yang aku yang rasakan ketika ngobrol-ngobrol dengan Samad, begitulah nama samarannya. Sebelumnya memang gak ada masalah dengan itu orang, entah kenapa semenjak aku gabung dengan kepengurusan kepemudaan di kampung.

Di sana, kalau kebetulan ada rapat aku ikut aktif. Memang rata-rata bapak-bapak sih yang aktif bicara. Suatu waktu, ada pembahasan PHBI Maulid Nabi Muhammad saw., hadir hampir semua warga, tua dan muda. Ketika membahas estimsi kenaikan iuran acara, aku komentar.

Aku tidak setuju sebab bagiku melihat kemampuan warga juga sisa saldo yang selalu surplus, apa yang alasan dinaikan. Belum lagi kala itu pandemik menggigit ke segala sektor ekonomi. Ikut menambah repot ongkos dapur.

Aku sebenarnya tidak mau komentar, lebih senang menjadi pendengar yang manis gitu. Tapi ya itu, banyak yang diam, pura-pura setuju dan aku tidak mau apatis seperti Hok Gie katakan.

Aku utarakan ketidaksetujuan itu, terjadilah perdebatan cukup sengit. Selebihnya aku diam karena tidak diberi ruang bicara. Persis setelah itu, sikap Pak Samad kepadaku agak dingin. Setiap berpapasan di jalan atau lain tempat, wajah itu tidak semanis mentari pagi.

Aku risih dong tapi ya mau gimana, kita bisa mengatur hati kita tapi tidak mengatur hati orang lain. Pada nyatanya hati punya pemiliknya, maka siapa aku di balik itu? 

Tetapi kemarin pas prosesi pemandian juga pemakaman aku terlibat obrolan. Tidak intens sih, ya setidaknya ada itikad baik yang aku lihat. Meski pun masih kaku terasa, semua butuh waktu bukan?

Dari kejadian itu, sungguh aku berfikir, Kenapa sih dunia terasa sempit bagi mereka yang punya masalah? Bahkan banyak dari mereka yang lebih memilih melepas nyawa daripada menjalaninya. Tidak hanya orang biasa, bahkan sekelas tokoh dunia pun ikut terdaftar di sana.

Sebabnya, mungkin karena jiwanya sudah sempit. Pikirannya dikuasai prasangka buruk. Keburukan itu menjerat pada rasa tidak nyaman. Kita meletakan masalah sendiri sebab orang lain. Padahal diri sendiri tergantung kita mengelolanya, bukan menyalahkan faktor luar menguasainya.

Itulah kenapa, nabi menyebut jihad terbesar adalah memerangi hawa diri. Hawa itu hembusan yang mengarah negatif meski ada yang positif, hanya positif ialah hawa yang sejalan ridha Allah. Lah kita, apa bisa mengklaim hawa kita itu selalu positif?

Kenapa kita "lebih suka" menyalahkan setan saat melakukan dosa, padahal mereka hanya membisikkan di jiwa kita. Selebihnya yang menjadi aktor adalah kita. Bukankah tidak akan terjadi bangunan yang mewah kalau hanya ada aristek bicara juga merangkai gambar ilustrasi?

Tetap saja tukang bangunan yang harus kerja keras, pemilik modal dan sebaginya. Singkatnya, ada ide dan aksi. Begipula dalam kasus "masamnya" sikap orang. Kita harus mampu mengelolanya. Begitu ya, paham? (***)

Pandeglang, 20 September 2023    12.02

Posting Komentar

0 Komentar