Kabar Itu Memang Duka

Potret kesedihan, di sana. (Dokumentasi Pribadi)

Untuk urusan hati, aku memang agak sentimentil. Apalagi mendengar kabar duka, dari seseorang yang amat kamu cintai. Kamu hormati. Kamu teladani. Itulah ayah yang tak lelah   matamu tentang dunia, kenyataan dan harapan.

Kabar tadi pagi sunguh buatku begitu saja termenung, "Ya Allah, tidak mudah, maka kuatkan ia yang tengah berjuang!"

Padahal sampai malam yang dini, kita masih tersenyum, aku menguatkan jiwamu yang dirundung sedih. Aku tahu rasamu, aku tahu ketakuatanmu, "Darah mengalir terus aa di slang infus," katamu mengabari.

Seolah firasat terasa, kamu semalaman tidak tidur. Aku di sini terus menemani meski sekedar kata. Aku di sini sedia meski hanya emot membuatmu tertawa. Meski aku tahu, kamu tidak sedang baik.

Di  saat yang sama, tiga hari ke depan ada lomba tahfiz se-Jatim. Aku ingin kamu tertidur atau membatalkan saja ikut acara, aku berpikir nanti kamu lelah dengan hal yang aku takutkan. Bukan melarang, bukan sama sekali.

Dan saat kamu memaksa untuk aku tertidur, daya ponsel pun melemah, di situlah aku memilih memejamkan mata. Siapa sangka saat itu takdir Allah terjadi. Ruh suci itu dijemput untuk kembali ke hariban-Nya.

"Bapak sudah tiada!!!"

"Dede butuh aa di sini!"

Itu WA yang masuk di ponsel, saat pagi masih merah. Aku tercekat, Ya Allah, sakit mendengar kabar ini. Lebih sakit saa jarak terpisah jauh, aku pun tak mampu menahan gejolak.

Aku hanya berkata lirih, "Aku bisa apa?"

Sepanjang hari ini aku seperti memegang bara api, aku di antara kuat dan cemas. Ya. Laki-laki memang tidak boleh menangis. Akan tetapi, seberapa kuat tak menangis saat orang yang kamu sayangi menangis histeris. Di situ, rindu memuncak, jiwa tertinggal jauh di sana. (***)

Pandeglang, 22 Oktober 2023  17.51

Posting Komentar

0 Komentar