Ketakutan Itu

Takut efek peristiwa traumatis. (Pixabay. com)


Rasa takut itu wajar. Ketakutan ciri kita normal. Seberani apapun orang, pasti ada hal di mana ia punya ketakutan. Hanya saja, takut karena apa dan gimana itu soalnya.

Tiga mingguan yang lalu saat tahlil di rumah saudara, Pak RT menyuruh saat memberi kata sambutan. Kontan saja tubuh saya panas dingin tak karuan. Dada berdetak lebih cepat macam ketemu kekasih. Telapak kaki dan tangan basah kuyup.

Di saat itu, jangankan bicara sudah mampu berdiri saja bagus. Biasanya saya diam atau mencari orang bisa menggantikan. Selebihnya saya pasrah dengan keadaan, apapun terjadi.

Kadang saya heran, kenapa sih saya kurang percaya diri bicara di depan khalayak umum?

Kalau harus jujur, saya sering loh bicara. Di waktu sekolah pernah ditunjuk sebagai poros utama di OSIS. Pernah juga aktif di grup literasi, di mana di sana kami belajar menulis juga orasi. Singkatnya, biasa bicara walau lingkupnya kecil.

Belum aktivitas harian yang mengharuskan saya bicara. Tetap saja, ketakutan itu sering menghinggapi. Kadang jengkel. Kadang kesal sendiri.

Saya curiga ini karena kejadian naas yang pernah saya alami. Pertama saya ikut lomba pidato waktu SD. Kedua, saat sambutan nikah Om. Ketiga, saat sambutan di acara wafatnya adik ipar sekaligus guru saya.

Tiga hal ini yang kadang membuat saya cemas sekaligus takut. Secara psikologis dikatakan traumatis. Namanya traumatis ya tidak akan sembuh, kecuali dihadapi dan ditaklukkan. 

Cuma prosesnya tidak mudah. Awal dari itu yakin dan percaya semua akan bisa dihadapi. Jangan terus-menerus dirundung kecemasan. Sedih boleh tapi harus punya batas.

Oleh karena itu, saya hanya ingin mengutif kalam  suci : laa yakho fu walaa yahzan. (**)

Pandeglang,  30 Oktober 2023.  10.17

Posting Komentar

0 Komentar