Dari Pikiran Menjadi Fokus

Dari pikiran menjadi kenyamanan. (Pixabay. com)

Barangkali orang itu tergantung apa yang sedang ia pikirkan ya. Apa yang ia rasakan ya. Itu memperngaruhi sikapnya.

Itulah yang membuat keheranan diriku. Kenapa hampir semua tulisanku arahnya ke cinta, rindu, wanita dan seabreg muaranya ke dunia asmara.

Padahal bisa saja aku menulis apa gitu yang lebih terlihat intelektual. Aneh memang, sulitnya bukan main. Kalau ada orang bilang, apakah bagi penulis sendiri aktivitas menulis itu mudah, belum tentu.

Penulis juga punya mood. Kan manusia. Hihihi. Lebih dari itu "kenyamanan". Bukan tidak bisa dituliskan tapi sebelum menulis merasa tak nyaman duluan.

Aku misalnya sudah merencanakan menulis esai tentang kepemimpinan pemuda. Riset internet sudah. Gambaran sudah ada. Gregetnya tuh, kok ga jadi-jadi.

Giliran menulis tentang kamu, gak perlu riset apa-apa langsung mengalir ide. Mudah banget menulis. Aku pun malu, takutnya ada pembaca bertanya, "bucin mulu Kang, gak capek!"

Capek sih enggak, yang ada mabuk beneran. Mabuk dalam artian maknawi loh. Sebatas itu sih. Hal ini pula yang membuat aku curiga, jangan-jangan kenapa ada sekelompok orang merasa terpinggirkan di republik ini, ya karena ini.

Mereka merasa haknya tak diberi. Mereka merasa jadi anak tiri. Itulah kenapa paling vokal berbicara ada ketidakadilan. Fokusnya ke sana dan seolah tak ada isu lain yang lebih seksi dari itu.

Mungkin kita heran, kenapa sih harus terus itu?

Kembali lagi mungkin soal kenyamanan. Mereka lebih nyaman dengan isu karena selama ini fokus pikirannya ke sana. Hal itu menjadi perasaannya serta menjadi sikapnya.

Intinya, kata-kata seseorang kadang bentuk dari pikirannya. Bisa juga tidak. Boleh setuju. Boleh juga tidak. 

Terpenting, saya kangen kamu pembaca yang selama ini rajin singgah di tulisan saya. Terutama, kamu yang yang buat hari saya punya warna. Hey, siapa? Haha. (*)

Pandeglang, 26 Oktober 2023   10.11

Posting Komentar

0 Komentar