Betapa Jengkelnya Saya


Momen di mana kumpul kami di rumah. (Dokumentasi Pribadi)

Jengkel itu wajar, apalagi kepada orang yang cara berpikirnya tak kita pahami. Begitulah yang saya rasakan saat ini melihat, mendengarkan, dan menyaksikan sikap adik saya. Yaps, adik yang seharusnya memahami  arti sebuah kedewasaan.

Jadi begini. Selain dia aktif di kampus juga aktif di beberapa organisasi lain, baik HMI juga pers dan lainnya. Apalagi sekarang ikut pula event stand up comedy. Hiks, betapa buanyak!

Sebagai kakak yang belajar baik, saya sering dibuat heran dan aneh. Ada hal yang tak sinkron dengan sikapnya juga pola pikirnya. Bukan saya ingin menghalanginya, mungkin lebih mengajar agar lebih realistis.

Misalnya, perihal waktu dan alokasi anggaran yang dia gunakan. Bagi saya, waktu itu berharga maka sedapat mungkin bisa diatur mana untuk ibadah, beramal, orang tua, membaca, menulis, bergaul dan sejenisnya.

Nah dia lain, waktu seperti hal yang harus mengalir saja. Ibadah yang seharusnya menjadi perhatian utama, entah kenapa menjadi sederet beban dan hal biasa. Kadang capek juga mengingatkan.

Belum soal fokus dalam bersikap. Dengan umur yang tidak kita tahu, kapan saja kita bisa meninggal, maka fokus adalah cara kita meminimalisir dampak menyesal di akhir nanti. 

Fokus di sini, kita harus tahu jalan hidup kita untuk apa. Mau ke mana. Kalau bisa kita harus tidak banyak mengambil keputusan atau langkah. Pilih mana yang terpenting dari yang penting. Bukan ingin semua di dapat.

Dalam konteks aktif di berbagai organisasi pun komunitas, maka ini bisa menjadi bumerang. Hilang fokus dan konsentrasi mengejar apa yang penting. Syukur semua bisa di dapatkan, kalau tidak?

Perihal anggaran juga memicu emosi. Bukankah dengan tidak fokus di satu kegiatan sama saja menambah bekal dana. Lah, kok bisa? Itu bensin apa gratis, jajan tidak pakai uang dan nongkrong modal makan angin?

Dua hal ini yang sering buat saya jengkel. Apa begini rasanya punya adik aktif di kampus? Apa seperti ini menjadi tulang punggung keluarga? Entah apa lagi sikap-sikap salah dia tapi merasa benar sendiri.

Saya jadi ingat kata Robert T. Kiyosaki di buku Rich Dad's Guide Investing di halaman 33, ada hal yang salah sudut pandang di sekitar kita soal investasi yaitu agar aman, nyaman dan kaya. Kemudian berefek pada mental mudah kalah dan miskin.

Lebih jelasnya ingin sukses tapi tidak mau menjalani komitmen tetap dalam berpikir benar. Berpikir benar artinya siap berjuang dan siap menanggung resiko. Bukan marah saat gagal atau emosi saat orang tidak memahami cara berpikirnya.

Oleh sebab itu, jengkel saya lebih kepada kasihan, sayang dan prihatin atas mentalnya. Era di mana persaingan itu nyata dan di mana orang mungkin tidak mau memahami jiwa kita. Semua tidak bisa lagi bertumpu pada teman, tapi pada diri  dan keluarga. Terutama, bertumpu pada Sang Pemilik semesta, Allah SWT. Kalau tidak, saya tidak tahu lagi. (***)

Pandeglang, 24 November 2023   17.58 

Posting Komentar

0 Komentar