Hujan di Akhir November

Menyusuri kota di Pendopo Bupati.

Belum beranjak, aku masih terdiam melihat rintik hujan. Sendiri. Sesekali kecipratan tempias di atap gedung samping pendopo kabupaten yang mulai rapuh. 

Tak jauh dari sana, ada kucing hitam dengan mata bulat melihatku. Mungkin dia heran sekaligus geli melihatku. Kalau aku bisa tahu bahasanya, mungkin dia menyapa,

"Sedang apa kau di sana penulis blog yang belum terkenal?"

Dengan mengejek aku menjawab, "Aku sedang ditelepon kekasihku. Yee."

Si kucing hitam, manis dan malang itu pun pergi dengan kesal. Hujan, sendiri dan kedinginan. Sedang aku; hujan, kedinginan tetapi dipeluk kasih sayang. Dirayu dan merayu. Di kuping suara menghiasi bayangan kerinduan.

Hujan akhir november tahun ini memang beda, aku dipertemukan dengan permata jelita dari bumi garam sana. Carok masih ada. Pesonanya sering buat dada berdetak tak karuan.

Kadang aku berpikir, kenapa Gusti Allah mempertemukan aku dengan kamu di saat aku tertatih bangun dari keterpurukan. Di saat aku masih setitik debu yang tak guna. Di saat aku belum mampu menjemput rindu ke sana.

Sungguh, aku malu. Kenapa sedalam ini kamu beri percaya. Beri aku cinta. Beri kasih sayang. Beri perhatian. Padahal, kamu akan menanti keseriusanku sampai di mana kamu, mungkin lelah.

Aku tak pernah berpikir menyakiti, apalagi pindah ke lain hati. Meski jauh di mata. Meski kesempatan leluasa. Bagiku, cinta adalah soal jujur dan tanggung jawab. Tak boleh sembarangan melepas rayu terkecuali hanya pada satu hati saja, itu kamu, tersimpan di jiwa ini. Saat ini.

Kadang aku berpikir, sudah pergi saja jangan terlalu dalam menanam kerinduan di sini, aku takut kamu patah oleh kecewa, luka dan sakit karena tabiat burukku. Meski separuh jiwaku menjerit, takut kehilanganmu.

Akhir november 26 tahun 2023 ini seperti saksi, hari di mana bertambah usiamu. Hujan yang menghadirkan dingin, buku di tangan, mata terlelap dalam bayangan pelukanmu.

"Kapan ya, kita menyatu dalam naungan ridha-Nya. Selangkah dalam sakinah. Bercumbu dalam barakah."

"Ora kesusu! Yang sabar, cinta!" Begitu selalu katamu.

Ah, aku tak bisa berkata lagi. Aku tahu kamu punya kerinduan, ingin dan harap. Tetapi kamu lebih pandai menyelimuti dengan rasa malu. Yaps. Aku jadi malu.

Dalam buhul cinta dan kasih, aku memang merasa bodoh, polos, dan alay. Kalau kata pepatah, cinta membuatku menjadi hamba sahaya sampai lupa merdeka.

 Aku lupa merdeka terlalu jauh tenggelam dalam lautan rasamu. Sesekali mencumbu wangi bayangmu. Memungut kata dan senyummu, lantas mabuk.

"Kenapa harus aku?" tanyamu lagi, lagi, dan lagi.

Karena kamu spesial. Tidak mau menyerah, lari bahkan melempar duri. Justeru terus belajar memahami, terus memberi kenyamanan walau kadang tidak mudah untuk membuatmu "menjadi" apa yang aku mau.

"Laki-laki kan suka egois," suatu waktu saat mengungkapkan "ketakutanmu" pada ritual dewasa.

Laki-laki selalu ingin menang sendiri, ingin puas sendiri, dan suka mencari apa untuk diri. Aku setuju, aku juga tidak setuju.

Bagiamana tidak setuju, bukankah banyak kaum laki-laki mencari kepuasan di luar, sedang di rumah hati yang setia tak mampu dipuaskan.

Laki-laki berdalih wanitanya dingin dan tak semanis dulu. Tapi dia lupa, wanitnya pun merasakan perih juga luka dari sikapnya, meminta dipuaskan tapi versinya bukan versi bersama.

Sebagai laki-laki aku pun tak setuju, tidak semua laki-laki begitu. Aku selalu menempatkan kamu di kondisi kita nyaman, terbuka, dan percaya. Tentang apa saja. Aku hatimu, hatiku di kamu. Mari saling jaga, saling cinta, setia sampai takdir mempersatukan dua hamba yang tersiksa oleh gelora kerinduan.

Di akhir november, malam yang pekat, dan hujan reda. Aku masih di sini, mengeja namamu dalam doa. Meminta apa yang terbaik bagi-Nya untuk kita dengan ketakutan diriku. 

Oh hujan, maaf, jangan jadikan cinta kami menjadi tetes luka. Jadikan cinta kami menjadi pintu-pintu yang menggetarkan arasy, agar kelak ada buah berkah di akhir nafas kami. Amien. (***)

Pandeglang, 26 November 2023   22.51

Posting Komentar

0 Komentar