Takdir yang Berbeda -Beda

Takdir mereka yang berjalan berbeda sama yang diam. (foto dapat mencuri)

Di malam rabu kemarin, aku mengantar adik ke terminal Bogeg, Serang. Adik saya ceritanya mau hijrah menjemput takdirnya, sebagai kakak yang "merasa baik" saya antarkan sampai gerbang tol harapan, eh jalan tol menuju Pelabuhan Merak.

Kami menunggu cukup lama Pak Sopir-- beliau temannya mertua adik perempuan saya-- katanya baru sampai Cikupa Tangerang. Ya sudah, kami menunggu dengan khidmat ditemani gelap, dingin dan angin dari sawah di depannya.

Hilir mudik mereka yang pulang dari kota terlihat, wajah-wajah yang lelah. Langkah yang gontai. Ada yang membawa kendaraan, di parkir di sana. Ada yang dijemput oleh kekasihnya, oleh istrinya, oleh bapaknya dan oleh lainnya.

Tiba-tiba mataku menangkap satu sosok yang aku kenal, "Ndri!" sahutku.

Dia celingak-celinguk mencari sosok yang memanggilnya. Diakah manusia atau apa, saat pandangan kami bertemu, dia tersenyum. Kami bersalaman.

Benar dia Andri temanku, satu sekolah dulu. Rasanya baru kemarin kami masih memakai seragam putih abu-abu. Sekarang, takdir mengantarkan kami pada jalan berbeda. Berbincang-bincang lah kami sambil berdiri. 

"Ker ka papaten urang mah," katanya tersenyum bermandikan keringat malam. Dua karung plastik di tangan, dan satu dus. Entah saya lupa.

"Ada yang wafat," jawab saya.

"Sanes, tapi urang dipecat na padamelan. Kaget ey, bingung. Mana ker boga budak mejeh make pempes," tuturnya sendu.

Ia juga menambahkan gaji nya ditahan karena memang punya tanggungan. Malam itu pulang dengan sisa lelah, galau dan patah. Saya antarkan sampai ke jalan besar yang biasa dilalui kendaraan umum.

Sepanjang jalan saya menguatkan kerapuhan diri semampu yang saya bisa. Masih banyak harapan, kesempatan. Tidak mudah memang tapi harus dijalani. Dia pamit dan berterima kasih ketika menuju bis.

Melihat teman saya itu, saya seperti tersadarkan bahwa ujian itu sesuai kelasnya. Teman saya itu di PHK, gaji tertahan, pulang malam dengan kabut menggelayut di pikirnya. Di rumah isterinya menanti, anak menunggu kasih juga uang jajan dan beban lainnya ada di depan matanya.

Berat, ya. Harga sebuah perjuangan seorang ayah. Ya, dia seorang ayah dari satu anak dan satu isteri. Lah saya, satu laki-laki dengan satu kekasih. Belum beranak, kan belum halal. Hihi.

Jujur saya mencermati ini sebagian daripada takdir. Takdir kita tidak selalu sama dengan orang lain. Saat kita merasa tersiksa dengan satu kondisi, di saat yang sama mungkin orang lain lebih menderita dari kita atau mungkin ingin seperti kita. Sayangnya kita belum memahaminya.

Saat teman saya diuji sekarang mungkin ada yang berpikir kasihan, tak tega dan kesimpulan menyedihkan. Padahal kita tidak tahu, mungkin saja ujian sekarang bantuan loncatan agar ia makin maju. Cerah masa depannya. Itu takdirnya.

Sedangkan takdirku belum seberat itu. Masih berkutat dengan rindu, pengabdian, target tulisan dan seabreg harapan--kalau boleh dikata mimpi-- untuk masa nanti. Masa di mana langit cerah, bumi terasa luas, burung-burung bertasbih memuji di sekitar rumah kami.

Takdir saya hari ini adalah perjuangan, bagaimana pikiran semua di sekitar saya agar berubah. Ketakutan akan nasib dan pengejawantahan literasi di kampung sendiri. Rasanya itu cukup menyita waktu.

Belum lagi amanah almarhum kakek, soal pengembangan proses pembelajaran anak-anak. Ah, banyak sekali yang saya pikrkan tapi hanya sebagian yang mampu dikerjakan.

Terus target membaca buku, target menulis, terus target apa lagi. Selama hayat di kandung badan selama itu pula semangat tak boleh sunyi dari usaha. Satu lagi, apa dia takdirku? Hem, wallau'alam. (***)

Pandeglang, 18 November 2023    03.32

Posting Komentar

0 Komentar