Sepotong Hari di Pendopo Bupati

Sisa mobil di beberapa tempat. (Dokumentasi Pribadi)

Siang tadi aku ke Pendopo, di mana bupati kami berkantor. Aku mengantar Emak. Acara jam 13.00 selesai jam 17.00. Aku menunggu di sana memeluk sepi, tanpa cemilan tanpa duduk manis. Yaps, hujan deras mengguyur kota santri ini. 

Aku yang menunggu di samping kantor utama itu, hanya beberapa meter di sana kantor PKK. Bangunan lama yang mulai rapuh, retak sana-sini dan agak kumuh. Aku meringkuk di depan pintu nya, sendiri dengan kantuk menahan dingin.

Aku pun sempat berkeliling menyaksikan komplek pendopo: depan, samping dan belakang. Di sinilah keputusan daerah diputuskan. Kebijakan-kebijakan sentral.

Aku melihat daftar Bupati yang pernah berkuasa, ruang penerima tamu, denah mungil destinasi wisata di ujung Pandeglang, ya ini nyata. Ternyata benar, KH. Tb. Abdul Halim pernah menjabat bupati di kota santri yang juga ingin disebut kota wisata ini.

Aku kira, itu hanya omong kosong. Walau aku pernah membaca di buku Api Sejarah karangan Prof. Ahmad Suryanegara, katanya di masa awal merdeka banyak ulama dan santri memegang kekuasaan. Meski kemudian tersisih karena diganti oleh birokrat profesional yang ditunjuk Bung Karno waktu itu.

Ah, betapa bangunan-bangunan masa Belanda yang masih di pelihara. Ada yang terawat, ada pula seperti terbengkalai. Aku masuk ke sini seperti masuk melihat Douwes Dekker di buku -nya yang membangkitkan semangat kebangsaan kita. Cikal awal kebangkitan bangsa Indonesia.

Di sekitar pendopo, aku yang bukan siapa-siapa woro-wiri. Melihat musola mungil di ujung utara, wc yang agak kurang terawat dan sisa ranting yang jatuh di mana-mana. Mungkin malam serasa agak angker. 

Aku tak peduli dengan tatapan mata yang melihatku seperti mereka yang tak peduli denganku. Aku hanya ingin mencium aroma pendopo, melihat lebih dekat jantung kota kami. Ternyata, biasa saja.

Semarak di gedung serba guna masih ramai, pembagian sembako dan tunjangan. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Sekali mengintip keramaian di jendela, ada pejabat teras di sana di antaranya Ibu Irna selaku Bupati Pandeglang.

Hem, ramai nian.

Selebihnya, aku menunggu sambil membaca dan melihat keramaian orang. Betapa melelahkan hidup di keramaian, saat sok ramah.

Aku menyendiri di ujung timur parkiran membacayang memotret suramnya potret pendidikan di Belitung sana.

 Lantas bagamana di Pandeglang?

Aku tidak tahu. Setahuku fokus membuat kebijakan strategis tapi kepedulian terhadap literasi masih belum memuaskan. Bangunan perpusda yang masih numpang, tertutup dan agak monoton. Sudah agak lama aku tak ke sana, gara-gara masa hanya boleh meminjam cuma dua buku, itu pun tak boleh buku tertentu. Dan lainnya.

Di pendopo ini, tiba-tiba aku tersadar, apa yang bisa dan sudah aku lakukan untuk Pandeglang. Pandeglang butuh uluran tangan warga dan anak muda. Aku tak bisa terus bicara tanpa membuat bukti nyata untuk Pandeglang.

Entahlah, menyaksikan langsung  di dalam pendopo aku seperti melihat apa masa lalu kotaku. Sisa kemegahannya terlihat, sejarah masa menjadi saksi, Belanda pernah bercokol dengan kolonialisme nya. (*)

Pandeglang, 26 November 2023   23.35

Posting Komentar

0 Komentar