 |
| Jalan panjang menuju dunia, kapan berpikir akhirat? (Pixabay.com) |
Buku itu jendela dunia. Membaca itu kuncinya. Begitu kata pepatah. Tetapi untuk bisa kelilig dunia, tidak cukup modal baca; butuh tekad, semangat juga materi cukup untuk kebutuhan sepanjang perjalanannya.
Itu yang agak membebani pikiran saya, sekarang. Ingin berkeliling dunia. Tapi naik apa? Masa naik harapan, mana bisa. Naik pesawat apalagi. Terus belum kendala bahasa.
Atau seperti Kang Fauna Sukma Prayoga dari Serang, yang berhasil keliling dunia bersepeda. Inspiratif sekali tokoh Pramuka itu bekal tekad bulat di tahun 80-an berkeliling dunia dengan bekal ala kadar. Amazing sekali!
Atau seperti Andara Hirarta yang modal semangat dan niat tulus bisa mengecup pendidikan ke luar negeri. Setelahnya keliling dunia. Anak kampung yang udik, cerdas dan pantang menyerah berhasil menaklukkan 'ketakutan' dengan keberanian.
Atau Mas Gong yang berhasil berkeliling dunia dengan tekad, prinsip juga keberaniannya pula. Lari dari suramnya aktifitas menjemukkan, traveling mancanegara.
Lah saya apa, kok seperti ayam merindukan hujan, saat hujan turun lari menahan dingin. Dingin merenungi nasib. Terpuruk. Lari sana-sini mencari sesuap nasi. Giliran dapat diusir. Peliknya.
Terus gimana? Ya. Gak gimana-mana. Lakukan apa yang bisa dilakukan. Kurangi resah. Kalau baru mampu keliling dunia lewat buku, tepanya membaca, yo wis tho, lakoni!
Kalau mampu keliling dunia lewat tulisan, tepatnya khayalan, ya sudah. Lanjutkan. Sing penting tidak mumet. Sing penting punya mimpi. Kelak ada nasib menentukan punya gambaran.
Lagian mau apa keliling dunia? Cari sensasi? Cari motivasi? Cuma obsesi atau pengen serius meminum saripati hidup? Atau pelarian saja agar disebut punya ambisi?
Huak!
Keliling dunia dipikiran dan dipamerkan, terus berpikir ke dunia yang abadi gimana? Akhirat maksudnya. Jangan sampai menyesal nanti.
Sudah ah, ya. Aku pengen keliling dunia dulu. Lewat kata-kata dulu. Boleh, dong? Hihi. (***)
Pandeglang, 29 November 2023 10.03
0 Komentar
Menyapa Penulis