Bersama Ahmad Wayang di KMRD 13 Belajar Cerpen Serta Berlatih Menuliskannya

 
Sesi akhir memotret kenangan. (Dokumentasi Pribadi)

Menulis itu proses menuju keabadian, begitu kata Pramoedya yang dikutip Kang Wayang. Yaps, pengisi kelas tadi Ahmad Wayang, agak ganjil memang. Nama Ahmad beruntun dengan Wayang, simbolis sekali. Sebenarnya aku pengen nanya, itu nama pena atau asli.

Sebelumnya, aku sudah membaca tulisan Kang Wayang di webset Mas Gong, juga namanya sempat disinggung Ibu Tias di bukunya. Tadi siang ketemu juga. Sederhana, kalem dan berprestasi. Selebihnya, aku bakal merangkum apa yang tadi aku dapatkan di kelas menulis.

Pertama, menulis itu harus punya rumus.

Ya dong rumus, rumus cinta saja: aku+ kamu = Kita. Lah, apalagi menulis cerpen. Fardhu banget pakai rumus. Rumusnya apa? SITOPAL LAKE. Singkatan dari: Sinopis, tokoh, plot, alur, latar tempat, latar waktu, konflik dan ending. Hihi.

Jadi saudara-saudara, sebelum menulis kudu tahu strateginya. Buat apa sih? Ya, buat terstruktur. Maksudnya apa? ya, misalnya kamu lagi nulis cerita, eh lagi asyik menulis terus ada saudara minta ditemani beli bakso. Ditraktir dong kamu, ya bingung antara mau terus menulis atau menyia-nyiakan rizki yang datang saat perut lagi bunyi.

Hadiah dari Kang Wayang karena cerpen yang Katanya entah Kenapa. (Dokumentasi grup)

Hayo, pilih mana? Aku sih, realitis saja, milih ditraktir. Nanti setelah kenyang, pulang terus tidur eh menulis dulu. Mau ditunda juga gak apa sih, kalau kata Kang Wayang, "Sekalipun ditunda tak apa, kan kamu sudah sinopis." Singkatnya, rumus. Jadi, gak bakal main hati, eh setia sama rencana awal. Hihi.

Bagi kita pemula kan gitu, sibuk merencanakan cerita. Punya gambaran jelas struktur cerita. Hanya sebatas itu, pas ditulisakan terbang itu ide.

 Sebenarnya bukan hilang, kita saja tidak bisa mengikatnya di tempat yang tepat. Perasaan juga kan begitu, kalau tak bisa dijaga dengan baik bakal hilang kendali. Ih, ke mana-mana gini! Hihi.

Sederhananya, sebelum menulis buat sinopsis alias rangkuman cerita atau semacam peta. Si Dora juga kan begitu, bisa menemukan barang yang dicari karena ada peta, ada peta. Begitupula kita yang ingin menulis perlu peta, hanya kita bukan ingin menjadi Dora tapi merangkai jalan cerita kita. Eh, jalan cerita tulisan yang dibuat. 

Selanjutnya, tokohnya pula. Ada protagonis pun antagonis. Terus alur, alur itu yang menggerakkan cerita ditambahkan plot. Plot itu ruh cerita biar terasa hidup, penasaran dan menarik, dan seterusnya. 

Kedua, menulis itu proses berlatih.

Tak hanya pencak silat yang butuh jurus-jurus jitu yang harus dihafalkan lalu dilatih terus-menerus agar mahir. Pas bertarung tak lagi bingung memikirkan jurus, yang ada harus siapa menggunakannya. Begitupula saat menulis, tak cukup tahu dan ingin, kamu juga harus rajin menulis.

Bukan sedang ngerumpi atau main games, tapi lagi mikir dan latihan menulis cerpen. (Dokumentasi grup)

Menulis apa yang kamu inginkan, harapkan dan syukur bernilai kebaikan. Syukur-syukur ada nilai benarnya. Syukur-syukur ada amplopnya. Hihi. Syukur apa lagi, ya akhirnya surga!

Alasan aku kenapa punya blog dan aktif menulis, sederhana sih biar punya ruang menulis. Entah berapa kali mengirim tulisan ke media, alhamdulillah rata-rata di tolak. Galau dong aku, mentor dari Jawa suruh buat aku blog. Gak apa gratisan katanya. Ya udah aku manut. Tulisan yang ditolak aku posting, ternyata banyak juga. Hihi.

Dari sana makin jatuh cinta sama kata-kata. Lewat kata aku juga bertemu cinta, dia di sana. jauh sih, tapi hatinya dekat katanya. Begitu ceritanya. dua tahun lalu sih. Sekedar cerita saja, biar yang malas menulis berpikir bahwa obat stres gak melulu berbayar, menulis alternatifnya.

Menulis apa? Cerpen. Alhamdulillah, aku dikasih buku oleh Kang Wayang. Saat latihan menulis cerpen tadi. Padahal spontan aja ide muncul. Kopi, wanita ngambek, dan warung Janda kembang. Hihi. Paradoks! Aku sih iseng aja, soalnya ingat dia kalau ngambek di mana. Tahu lah LDR. Berkah juga dapat buku, eh kapan dapat dia ya! 

Ini cerpennya :

Segelas Kopi
by Mahyu An-Nafi

Wajahnya terlihat sayu. Matanya merah, mendengus menahan amarah. Kesekian kalinya ia tersakiti. Sudah berapa kali menyadarkan suaminya, tapi pesona wanita sialan terus merebut pikirannya.

"Pokoknya, ceraikan aku!" Ujar Rara keras memekakkan telinga.

"Tunggu, sayang. Semuanya bisa kita bicarakan. Aku mengaku salah. Tapi jangan bicara cerai." Laki-laki plontos itu bersujud di kaki isterinya. Memohon diberi kesempatan lagi.

"Apa lagi yang kamu mau, hah?! Sudah tiga kali aku beri kesempatan, nyatanya tiap pulang kerja mampir terus di warung Si Janda menor itu! Sekarang, aku mau pulang ke Rumah orangtuaku. Makan hati aku di sini," Rara membuka kasar lemari bajunya. Mengambil pakaian secukupnya. Entah ke berapa kali suaminya tertangkap basah nongkrong di warung kopi Mpok Nori, janda kembang yang terkenal seantero kampung sini.

Rara tahu suaminya hanya ngopi di situ, itupun tak hanya dia. Ada bapak-bapak lainnya di sana. Tapi ya itu, siapa yang tak kenal Mpok Nori, janda yang sering buat kelabakan kaum Adam. Bukan tak mungkin, lama-lama suaminya tergoda.

"Aku hanya ngopi, sayang." ujar suaminya waktu itu. 
---
Sebagai penutup saja, kelas tadi hidup. Ada kang Miftah yang kocak, kerap kali buat kami tertawa-tawa. Thanks, kang! 
Ada Kang Wayang yang murah senyum dan cerdas, yang baru aku tahu itu nama pena. Thanks Kang Wayang ilmu dan pengalamannya. Barakallah!
Ada Kang Ade dengan argumentasi yang cerdas, yang kadang buat terperangah, kadang lucu sih.
 Teh Erika, Uul, Mawar, Linda, Sofi dan Hamzah-- yang ada ceritanya tapi orangnya gak ada. Hih, seram!

Kalau boleh usul sih, bisakah cerpen ini dimasukkan sama buku kumpulan esai yang bakal di garap nanti. Jadi, nanti tak hanya ada tugas esai dari Kang Ade tapi juga cerpen dari Kang Wayang. Hanya usul sih. Sudah, ya sudah. wasalam. (***)

Pandeglang,  10 Desember 2023  23.37

Nb: saya menulis sambil bertarung sama nyamuk ini😀

Posting Komentar

0 Komentar