Kenyataan yang Menjengkelkan

Diambil dari Pixabay. com 

Jengkel itu normal, ya. Karena itu luapan kekeselan kita terhadap keadaan. Dewasa ini angka depresi tinggi, saking tingginya meningkat pula angka bunuh diri. Putus asa. Kalau kita menyalahkan, siapa yang salah. Itu perlu kita obrolkan lebih baik lagi.

Publik masih menyorot tajam aksi bunuh diri mahasiswa kedokteran hewan di Surabaya, juga aksi di kawasan Jakarta seorang ayah membunuh 4 anaknya. Ditambah seorang bapak membanting anaknya karena bersepeda cukup tak terkendali.

Tiga kasus itu seperti kasus gunung es yang kian hari tinggi. Belum maraknya kasus pelecehan dan pemerkosaan di beberapa tempat. Saya mencatat di Walantaka, Serang seorang pengacara melecehkan bocah, di Madura seorang kepala sekolah melecehkan guru juga muridnya, dan agak ke belakang di Jawa seorang kiai memperkosa santri, seperti pula di Bandung yang cukup mengerikan sampai hamil serta punya anak.

Kenyataan ini sungguh membuat saya jengkel. Jengkel terhadap kenyataan pahit. Lebih-lebih saat membaca laman Quora, di sana hampir penuh curhatan hati orang yang dilecehkan orang terdekatnya. Bahkan, hubungan terlarang seolah hal biasa.

Alasan saya jengkel ada benarnya, ya. Betapa di negara hukum yang sedemikian dikelola pun dilaksanakan sebaik yang bisa saja, begini rasanya. Apalagi di negara, hukum yang tak lagi punya marwah. Saya tahu, tidak sedikit penegak hukum kita banyak yang baik. Rawan korupsi, rawan ke kena suap dan rawan disodok. Entah oleh harta, tahta maupun wanita.

Tetapi, saya pun tidak menutup mata terhadap orang-orang baik yang menjadi penegak hukum. Mereka melaksanakan juga bekerja dengan hati nurani. Sekeras apa yang di mampu. Buktinya, banyak kasus besar berhasil dibongkar. Banyak koruptor ditangkap. Banyak pula ikhtiar lain untuk  meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan hukum kita.

Saya pikir, masalahnya tidak hanya ada di elit kekuasaan saja. Baik rakyat biasa turut pula andil menyumbangkan keadaan yang menjengkelkan ini. Bukankah kita tahu, tidak akan ada suap kalau tidak ada yang menyuap? Siapa yang menyuap, bukankah tak sedikit dari  rakyat pula. Makanya, kalau kualitas negara ingin baik maka dimulai dari hal kecil.

Kasus putus asa, bunuh diri, pelecehan dan pemerkosaan terjadi itu gambaran moral bangsa kita. Kalau ada rakyat biasa memperkosa anaknya, maka tataran luas ada pula pemimpin kita yang "memperkosa" hak rakyatnya. Untuk itu, pembangunan moral yang baik itu proses lama yang harus simultan. 

Harus ada kerja sama semua stake holder. Itu dibangun dari kesadaran. Dibangun dari kepercayaan. Ditata dengan ketulusan. Maka, kalau Indonesia masuk terus kepada negara paling cerewet di dunia. Pahami saja, mereka punya kejengkelan di sekitarnya yang sampai saat ini belum diselelesaikan.
Saya pikir begitu. (***)

Pandeglang, 17 Desember 2023   18.00

Posting Komentar

0 Komentar