Kenapa Pergi, Yah?

Jangan pergi, yah. (Pixabay. Com)


Kenapa kamu pergi Pah, di saat kita sedang merangkai mimpi kita. Tidakkah papah lihat, buah hati kita sudah tumbuh dan besar. Satu per satu menjadi anak yang membanggakan. Tapi Pah, kenapa papah pergi secepat ini?

Aku bukan tidak tahu takdir. Semua terjadi karena kehendaknya-Nya. Hanya saja, jiwaku patah saat engkau pergi selamanya tanpa aba-aba. Engkau menghembuskan nafas di pangkuan ku, langitku hancur berkeping-keping. Mataku deras dengan hujan kepiluan.

Aduhai, hati siapa tak merana di tinggal pujaan hati. Bertahun-tahun kita memantapkan langkah, sulit dan suka kita jalani. Aku ingat, saat pertama kita punya buah hati, kamu tidak bisa tertidur nyenyak berhari-hari menemani tangis isterimu yang lemah.

"Aku gak kuat Pah, aku ga kuat," tangisku saat itu.

"Ayang pasti kuat, itu bisa senyum," sahutnya tak kalah panik tapi masih bisa bercanda. Serius, kalau kuat pengen aku pukul itu tapi aku sedang tak berdaya. Tiga hari di rawat menjelang H kelahiran.

Puncaknya, hampir semalaman setia menemani detik-detik melahirkan. Lelah banget, lemas seluruh tubuh. Di saat yang sama, aku juga senang ada kamu menemani. Matamu merah, wajahmu kusut dengan kata-kata yang tak henti terujar di telingaku,

"Allah, Allah. Allahu rohmanur rohum."

Dan, buah hati yang kita tunggu menyapa bumi dengan tangisnya. Bayi yang sehat, ganteng dan normal. Matanya tak jauh denganmu, eh apa itu jiplakan dari wajahmu. Syukur dan puji aku ucapkan pada Ilahi rabbi, Alhamdulillah proses yang melehakan tapi melegakan. Lakal hamdu walaksukru.

"Ayang sekarang jadi ibu," katanya di telingaku dengan kecupan lembut di kening.

Ah, rasanya semua masih kemarin terjadi. Kecupan itu masih hangat terasa di kening. Sebuah kisah yang sekarang hanya mampu aku kenang dan tangisi. Sayang, aku rindu!

Lihatlah, buah hati kita itu sudah menjadi gagah yang tegap. Suara yang indah saat membaca kalam ilahi dan lembut dalam berkata-kata. Hanya saja, ia tak senakal ayahnya. Ayahnya mah nakal, husf! Hehe. Gak ding, baik. Nakalnya cuma ke istrinya, ke yang lain mah sopan. Jangan tanya nakal kenapa, tipe laki idaman.

"Kalau ayah pergi duluan, didik anak-anak ya," katamu malam terakhir kita bersama.

"Apaan sih ayang ngomong gitu," kataku merajuk.

"Ihh, Bunda sayang, siapa yang tahu usia manusia. Kalau mau mah, pengen selamanya kita bersama dan berbagi sayang sampai tua nanti." katamu lembut, "Sini, jangan jauh-jauh, malam ini pengen tidur nyenyak di peluk bunda sayang."

"Ihh, ayang, apa sih kayak pengantin baru aja. Gombal ah!" kataku meronta dipeluknya erat.

"Kali aja ini pelukan terakhir," katamu. 

Namun yah, aku Ridha dengan takdirNya. Meski berat, aku ingin bertahan. (***)

Pandeglang, 7  Maret 2024   18.08

NB: Tulisan ini hanya imajinasi penulis, yang bulan-bulan ini sering mendengar kematian.


 

Posting Komentar

0 Komentar