Ziarah Tadi Sore

Ziarah di hari 40 hari bapak. (Dokumentasi Pribadi)

Tadi sore, saudara di Jakarta minta diantar ziarah ke kakeknya. Sebagai anak yang baik dan jarang sombong, tentu aku membantunya. Bukan lagi cari muka tapi memang pengen saja. Sebelum sampai area makam sih biasa saja, tapi pas masuk dan melihat ke sekeliling... ternyata banyak kuburan. Ya lah, kan komplek makam.

Gundukan tanah yang membisu tetapi seperti memberi pesan, kesan dan renungan. Untungnya, sore tadi aku gak sendiri, banyak yang ikut. Gak ada alasan aku takur, kan aku berani. Berani nahan malu dan takut yang ada.

Dan, pas di kuburan bapak hatiku seperti teraduk. Makam bapak dan kakek saudaraku itu emang bersebelahan. Dempet. Bapak kok pergi ya, rasanya baru kemarin tersenyum dan bercanda. Sekarang menjemput takdirnya. Ingat pas aku mau mengadzani bapak di liang lahad, tubuhku lemas tak bertenaga. Air mata mengguyur wajahku. Ah, ternyata aku tak sekuat itu, aku menangis!

Mungkin karena aku yang pakainnya rapi ala santri gitu, di daulat yang memimpin hadorot. Mengirim hadiah doa dan harapan pada kakek, bapak gede dan bapak; tiga orang yang akrab dan sering menasihati aku tentang banyak hal. Kini, beda alam. Ada hijab tebal memisahkan.

Tiap lebaran beliau ini yang sering membaca doa dan hadorot, sekarang aku atau adikku yang menggantikan posisi itu. Rasanya semua mimpi tapi nyata. Nyata sekali, antara harus menerima dan memahami kepergian beliau.

Sepanjang berdoa tadi mataku fokus ke makam bapak. Bapak di sana tengah apa ya? Apa tengah meminum cinta dan sayang dari Rabb-Nya? Ini ramadan, di mana bapak paling khusyu membaca wiridnya. Terutama surat Al-Fath yang di dawam di waktu magrib dan subuh serta doa khusus lain.

Saat meninggalkan pusara bapak ingin sekali aku duduk, mata terasa pedih dan perih. Rindu bapak, sudahlah. Allah lebih sayang bapak. Kepergiannya bagian dari pada catatan kehidupan untuk jadi renungan. Kalau sudah pergi, biarkan pergi. Tak usah disesali, justeru kita harus belajar menerimanya. Kita bukan orang pertama yang mengalaminya.

Itu mungkin kenapa Islam menganjurkan jiarah, agar kita peka akan perputaran masa. Esok, kalau gak kita mungkin yang lain. Kalau gak orang lain, ya kita. Itu rumus pastinya. Sudah siap? (***)

Pandeglang, 25 Maret 2024   00.34

Posting Komentar

0 Komentar