Cerita Soal Bilal Taraweh di Hari 8 Ramadan

Saat musyawarah di masjid, pembubaran panitia maulid nabi. (Dokumentasi Pribadi)

"Di sini mah, Alhamdulillah ya, bilal taraweh-nya di jadwal," kata Abah Hamzah saat khataman Al-Quran di malam ke tujuh wafat ibunya.

"Kalau di sana mah," lanjutnya, "yang bilal itu belum terjadwal. Ya, satu orang. Imam pun begitu. Satu orang saja. Di sini mah, Alhamdulillah. Terjadwal rapi; yang muda bilal dan yang tua bergiliran menjadi imam. Bungah," ungkapnya dengan senyum samar yang penuh pengharapan.

"Atuh ya, kan harus ada penerus. Kaum muda harus diberi ruang. Supaya tuman. Kalau terus yang tua, nanti siapa yang bakal melanjutkan," ujar Mang Iip menimpali. Beliau sesepuh walau masih relatif muda, yang biasa meregulasi kegiatan-kegiatan keagamaan.

Obrolan yang tertinggal tiga hari yang lalu, yang ingin aku tuliskan tapi terjeda terus. Obrolan selepas khataman, ada di sana aku, Mang IIp-- harusnya aku panggil ustaz tapi panggilan Mamang terlanjur sering diucapkan, Mang Muiz, Mang Epi dan sisanya keluarga besar almarhumah.

Di momen itu banyak yang dibicarakan, selebihnya nostalgia sih. Saling cerita anak-anak dahulu kalau menyikapi bulan ramadan. Ada yang adu beduk di masjid atau adu beduk antar kampung, seterusnya tawuran. Atau ngabuburit ke sawah, ngangon kebo. Atau nyari sisa beti mantang. Jam 12 malam aku pamit dan akhirnya yang lain ikut.

Kalau ada yang membicarakan bilal taraweh di kampungku dan kemudian sekarang terjadwal dengan rapi, aku sering ingat seperti apa proses dulu "membongkar" kebiasaan lama ini. Ketika Abah Hamzah (putera almarhumah Mbok Jarsiti, rumahnya tepat di depan rumah nenek dan beliau dulu murid ngaji kakek, sekarang ikut isterinya beda kelurahan) kekaguman akan jadwal bilal dan imam di masjid kami lantas bermuram durja terhadap kenyataan miris di kampungnya.

Sesungguhnya itu pula yang aku rasakan dulu. Setiap menjelang taraweh selalu "geger" karena bilal yang biasa gak ada. Sekalinya ada, kadang diam saja. Ada yang lain, maaf, suaranya kecil terus sudah sepuh pula. Atau sering allahu yarham Abah Rasyidi-- bapak dari Mang Iip dan Mang Muiz. Beliau sesepuh kampung.

Kadang aku gak tega melihatnya, sudah sepuh harus pula membaca bilal sedang yang muda-muda hanya diam. Padahal aku yakin pada bisa karena rata-rata pernah nyantri. Lah aku prihatin, tapi mau gimana. Santri bukan, bisa kagak, ya sudah cuma menahan resah.

Untungnya bapak di rumah sering mengajari bacaan bilal walau gak aku hafal sih. Bapak kalau lagi taraweh sendiri suka membaca kaifiat bilal dan memang hafal sih. Jadi, dari kebiasaan bapak ini aku termotivasi untuk pula menghafal dan menjadi bilal di masjid. Bapak setiap aku dorong dan suruh, gak berani. Hehe. Ada saja alasannya.

Niatku sederhana, agar yang sepuh biarlah khusyu salat jangan dibebani tugas bilal lagi. Masa iya, yang masih pada bugar terus mau jadi penonton? Yang lain mungkin iya, lah aku gak mau. Makan hati lihat mereka kadang ngatur nafas, kadang keroyokan, ya imam ya jadi bilal.

Sekitar ramadan 2017 an itu, di awal banget itu aku memberanikan diriku menjadi bilal. Gak bilang ke siapapun. Murni ingin saja. Eh, bentrok sama sesepuh, itu Abah Idi. Bisa dibayangkan paniknya aku. Panas dingin. Mata puluhan mata jamaah seperti menelanjangi. Terusnya aku dipanggil pula ke shaf awal.

"Heh, saha eta tadi nu maca bilal," kata Abah waktu itu. Artinya, siapa yang tadi membaca bilal.

Aku pikir, haduh, habis ini babak belur dimarahi sesepuh. Tapi, aku gak mau mundur lantas lari dari kenyataan. Di mana aku membuat keputusan maka siap menanggung resikonya, apa pun itu. Aku rela dimarahi, kan aku yang salah.

Tapi, apa yang terjadi teman-teman?

"Tah, didie, ulah jauh-jauh jadi bilalna. Supaya kadenge," begitu ujarnya yang menempatkan aku duduk tepat di samping beliau. Artinya, nah, di sini, jangan jauh-jauh jadi bilal-nya. Supaya terdengar.

Dan, gak dimarahin. Gak pula direspon negatif. Apa yang aku takutnya gak terjadi. Beliau dan sesepuh yang lain justeru memberi ruang. Terkadang dulu aku berpikir, kenapa kaum tua selalu ingin di depan. Apa-apa kaum tua, lah kaum muda bagaimana.

Ternyata, kaum tua bukan menutup akses muda untuk menonjolkan diri. Mereka tidak memaksa, lebih berharap biar kaum muda sendiri yang muncul. Terpkasa kadang gak selalu baik. Pikiran kaum muda yang suka membenturkan "kaum tua vs kaum muda" tak melulur benar pula. Setidaknya di kampunku ya.

Bahkan setelahnya, ketua DKM diganti ke yang lebih muda. Masuk yang muda ke hierarki kepengurusan, di antaranya Om Panji. Om Panji ini yang aktif memberikan warna di kampung termasuk soal daftar jadwal imam dan bilal taraweh juga aktivitas PHBI. Meski pun beliau lebih asyik main di belakang layar.

Gak aneh pula sih dengan basic beliau di birokrasi maka tugas menjadi sektretaris hal lumrah saja. Beliau kerja di kantor kecamatan. Setelahnya, ya tiap tahun bilal taraweh dan lainnya terjadwal dengan baik. Lakal hamdu, berkah kerja sama semuanya, yang tua dan muda sehingga memberi warna di kampung tercinta.

Untuk itu, setiap ada yang bertanya dan mau menjadi bilal yang aku sendiri legowo membuka ruang, kadang mengajari ala kadar. Semakin banyak yang mau dan bisa, bagiku lebih bagus sih jadi aku gak capek lagi menjadi bilal. Haha. Khusyuk taraweh saja gak usah fokus mengingat doa dan raka'at. Cukup capek ingat kamu! Hehe. (***)

Pandeglang, 19 Maret 2024  14.5

Posting Komentar

0 Komentar