Catatan Sepulang Ziarah Hari Jum'at

Adik ipar dan ponakan minta selfie sebulanan yang lalu. 

Sepanjang pulang dari ziarah ke salah satu makam karamat nun di ujung Kadu Banen sana, aku ingin menangisi nasibku. Aku kok kadang merasa, apalagi kalau lagi galau, diriku kurang beruntung. Seberuntung teman-temanku.

Satu per satu temanku sudah punya momongan, sedikitnya punya pasangan. Kebetulan kalau ketemu maka pertanyaan sering diulangi, "atos nikah" "mana isterinya" "itu anaknya"; sebenarnya pertanyaan itu biasa. Tetapi bagi saya kok serasa seperti teriris perih di ulu hati. Di saat tertentu ingin sekali saya menangis. Yaps, menangisi takdir hidup saya.

Saya jadi ingat waktu sekolah dulu, di antara yang lain saya yang paling unggul. Di banyak hal saya yang unggul, maka wajar banyak yang bilang gambaran hidup saya ya secerah itu. Rasanya sukses itu di depan mata. Tetapi di masa sekolah itu saya pernah membaca majalah yang membahas soal, mereka yang sukses di sekolah atau kampus belum tentu sukses pula di kehidupan. 

Sebagai contoh ialah salah satu teman wanitanya yang terkenal cerdas, aktif dan berprestasi setelah statusnya menjadi "seorang isteri" seperti orang yang tidak punya cita-cita. Ia dikekang dengan banyak hal, mimpi ya tinggal mimpi tetapi kewajiban ternyata sungguh membuat miris.

Membaca tulisan itu saya sering merenung, apa saya juga bisa bisa sukses. Minimal merdeka dengan keinginan dan cita-cita saya. Saya suka menulis, apa bisa menajadi penulis nantinya. Saya suka membaca apa bisa nanti menajadi kritikus. Saya suka politik dan dunia pergerakan, apa mungkin saya bisa mengecup dunia kampus. Saya suka persaingan, apa bisa bekerja mandiri jauh dari orang tua.

Banyak sekali yang saya pikirkan dan renungkan, dan sekarang saya rasakan belum terjadi. Saya tidak kuliah, kerja pun sekedar mengganjal kebutuhan keluarga. Menjadi penulis pun hanya sekedar di blog gratisan atau beberapa kali ditolak meja redaksi.

Kisah cinta saya entah berapa kali kandas. Bukan mereka tidak mau ke saya atau mereka main hati, sungguh tidak. Justeru masalahnya ada di saya yang tak kunjung mampu menghalalkannya. Maka dengan baik-baik saya melepaskannya atau mereka diam-diam pamit. Saya tidak benci sama sekali justru saya bahagia karena dengan begitu mereka bisa bahagia dengan lain tanpa harus menunggu kepastian yang lain.

Belum lagi masalah keluarga yang tak kunjung selesai, ada saja menghampiri. Omongan di luar tentang saya ada yang langsung dan tidak langsung sering saya dengar, kalau tengah terjaga saya kuat tapi kalau lagi kurang sreg kadang sedih sih, ya kayak gimana gitu. Tapi kan saya laki-laki, masa iya menangis?

Saya jadi ingat cerita UAS, yang katanya baru menikah di usia 32 tahun. Berangkat ke Mesir dengan modal prihatin. Pulang dari sana masih jomblo. Ustaz muda. Lulusan luar negeri. Karir belum mapan. Betapa dahsyatnya omongan orang usil.

Sekalinya ingin melebarkan karir di ibu kota ibunya tak merestui, yang ada menyuruh pulang kampung. Biarkan menata karir di kampung halamannya saja. Antara sedih dan galau kata UAS. Mau gimana, ridha ibu segalanya.

Dan sekarang kita tahu nasibnya. Masih banyak yang lain. Untuk itu saya hanya menekankan pada diri saya berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Hidup saya ya tanggung jawab saya bukan orang lain, maka alangkah dungu kalau saya membiarkan diriku terpuruk.

Lebih baik hadapi dan ikuti prosesnya, sampai mana nanti ujungnya. Lagian fiqh Islam jelas menjelaskan: ambil manfaatnya dan tinggalkan yang meragukannya. (***)

Posting Komentar

0 Komentar