Cinta Rahma Ke Mana?


Gambar diambil dari internet.

Kutulis saja suara hati ini, bukan pamer pada mereka bahwa aku sudah tak sendiri. Lebih meyakinkan pada diriku bahwa aku bangga dicintai dan mencintai ia, itu saja. Perjalanan yang punya cerita dan kisah yang kadang seru, menjengkelkan, menyebalkan dan di saat yang sama terpenjara oleh kerinduan yang menyesakkan dada.

Apa yang bakal aku tulis untuk kisah kita, cinta. Aku manusia biasa yang baru saja melihat dunia, aku sepolos kain putih di hadapanmu. Apa yang aku pikirkan pasti tak sama seperti yang kamu pikiran. Bagiku, dunia itu hitam putih. Kalau kamu salah, aku benar; kalau kamu benar, aku salah. Sesederhana itu, di pikiranku.

Setelah tahu dan dekat denganmu sedikit demi sedikit aku tahu, dunia ini tak sesempit itu. Di balik kesederhanaan ada warna, tidak melulu hitam-putih. Di antara laki-wanita tidak hanya melulu cinta dan sayang, tapi ada juga syahwat, cemburu, rindu dan keinginan lekat yang hanya manusia normal yang tahu. 

Sempat takut sih, di balik hadirnya kita dunia ada proses dewasa di belakangnya. Proses bagiku, apa itu menyakitkan. Apa menakutkan? Apa itu sungguh menyakitkan. Dari kamu aku tahu, ternyata selama ini aku melupakan satu hal, itulah cinta.

Bukankah segala sesuatu akan terasa ringan karena cinta, ya. Pun sebaliknya. Bukankah kamu sering melihat, kenapa ada orang yang dekat ke masjid, hanya beberapa langkah saja. Anehnya, tiap azan berkumandang tak terbesit hati melalui langkah kakinya menjawab. Ia masih anteng dengan rokok di mulut, ongkang-ongkang kaki di dipan rumah.

Sedangkan aki-aki yang nyata lemah lagi papa, berjalan kecil dengan teratur mengijabah panggilan azan di Masjid. Meski jauh, meski lemah dan meski tak sekuat dulu, ia terkantuk-kantuk menyongsong suara cinta yang melembutkan hati dan menjernihkan pikiran itu. 

Mungkin kita bertanya-tanya, karena apa? Apa karena usia sepuh mengharuskan ia begitu, tak punya pilihan. Mungkin berbeda kalau ia masih sehat dan sesegar dulu. Akan tetapi, kenapa banyak yang sudah sepuh tapi betah dengan hura-hura di masa mudanya. Makin tua bukan makin baik, yang ada makin menjadi. Tua keladi.

Lantas, apa dong? Itu lah cinta, cinta melahirkan sayang. Cinta yang membuat yang tadinya menyakitkan menjadi dekapan kasih nan menentramkan. Cinta yang menjadi cahaya dari takut kepada berani. Itu yang sesungguhnya yang mulai aku rasakan, dari yang mudah menyerah untuk berdiri menjalani takdir seperti apa pun rupanya.

Hem, kalau cinta Arjuna dan Sinta mampu mencipta sejarah sendiri. Ali dan Fatimah punya warna sendiri. Nabi Muhamamd dan Khadijah punya romantisme lagi, pun dengan Bunda Aisyah adalah cahaya di atap rumah tangga penuh kasih, dan cinta Rahma dan kamu, apa ya?

Jadi ingat obrolan ibu di mimpi, yang masih lekat, "Bu, laki-laki baik itu seperti apa?"

"Seperti apa," jawab ibu dengan tatapan menggoda, "seperti bapak."

"Tumben, anak ibu nanya laki-laki," tanya ibu curiga. Aku jadi salah tingkah.

"Ya, gak apa-apa, Bu, eh," jawabku agak gelagapan.

"Sama-sama laki-laki itu masih?" ibu mulai menyelidi.

"Laki-laki mana Bu," aku pura-pura gak tahu.

"Ih, sejak kapan anak ibu belajar berbohong," ibu malah mengejek sambil tertawa.

"Hem, ya, kok ibu tahu."

"Tiap ke ibu, kamu kan sering curhat sayang, masa Ibu ga dengar? Lagian, jangankan di pusara ibu, di kamar aja saat kamu ngambek dan menahan kesal ibu tahu kok. Hehehe."

"Ah, ibu mah ngejek," merajuk ke ibu.

"Emang kenyataan, kan? Haha."

Sayangnya, mimpinya terpotong karena dibangunkan si Mbak. Ah, Mbak ganggu aja. Untung diganggu sih, kalau enggak bisa bablas Salat. Haha.

Udah ah, sampai sini aja. Sampai di hatimu. (***)

Pandeglang, 25 April 2024.  07.54

Posting Komentar

0 Komentar