Katanya Saya Tidak Bahagia

Ilustrasi gambar dari Pixabay. com

"Dia mah, gak maju-maju gitu. Pantes gak sukses, susah sih." Kata seorang teman, yang saya dengar baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada yang salah sebenarnya, itu kejujuran yang terucap meskipun pahit adanya. Masalahnya adalah, hati saya belum siap menerimanya.

Saya merasa ga enak, kurang sreg dan greget. Semua tak lain karena menyerang pribadi saya sendiri. Ya sendiri, bukan sama kamu berdua. Walau pun saya harus belajar bijak dengan tidak ngomel-ngomel apalagi menyerang pribadi yang bersangkutan. Untuk itu, saya ingin menggarisbawahi sebaris kalimat, tidak sukses.

Kalau kamu dicap tidak sukses, apa responnya? Diam, sok manis lantas menerima saja. Melawan balik bahkan menyerang si pengkritik. Atau bersikap masa bodoh, menerima asumsi orang dengan terus melakukan apa yang kamu yakini meskipun katanya itu tak membuat sukses. Aku sendiri bersikap seperti yang ketiga.

Ketika orang rela meluangkan waktu menilai aku seperti apa yang mereka lihat, secara psikologis orang itu peduli. Peduli untuk menilai pribadiku sesuai kapasitasnya. Urusan baik-buruk, negatif atau positif untuk sementara kita kesampingkan. Intinya, peduli. Manusiawi dong, sesama makhluk bumi saling peduli.

Sukses untuk pandagan umum adalah punya harta, jabatan, pekerjaan dan nasib yang mujur. Di mata sebagian orang, setawadhu apapun kiai, selama ia belum punya harta cukup dan santri yang cukup maka dilihat tidak sukses. Sehebat apa pun di mata orang, di mata yang lain tidak selama sama.

Saya ingat Abah Uki, pedagang di Pasar. Beliau pernah berguru ke Abuya Bustomi Cisantri. Sehari-hari sekarang menjadi pedagang baju. Beliau punya tiga putera; dua anaknya sudah menjadi sarjana dan yang satu tengah nyantri di salah pondok di Pandeglang.

"Alhamdulillah, walau pun bapaknya santri," katanya suatu waktu, "anaknya mah sarjana. Jadi, gak terlalu jelek-jelek amat mah," ujarnya dengan senyum seperti biasa.

Selama ini alumni pondok memang agak dipandang sebelah mata. Tak lain banyak dari mereka yang belum siap terjun ke masyarakat dan gagap dengan dunia pergaulan. Santri di anggap sukses, saat punya santri banyak  dan perangkat kekayaan yang nyata. Setidaknya, di pandangan umun begitu. Jadi, saya memaklumi saja argumen Abah Uki.

Saya pun punya teman, yang bagi saya dia sudah sukses. Sudah kerja ke mana-mana. Hampir ia pernah rasakan. Dia yang dulu gaptek dan kuper, kini menjadi tipikal modernis. Di mata saya dia sukses tetapi dari sikap dan kata-katanya sepertinya belum.

Saya pun punya teman yang ambisius sekali. Pernah menjadi pedagang baju, sukses di kota. Tiba-tiba datang kabar gulung tikar, pulang kampung. Dia pun sukses menjadi guru bantu di salah satu sekolah swasta. Tiba-tiba mengundurkan diri karena gak kuat dengan beban batin dan kerja, itu kata loh.

Sekarang ia kerja menajadi jurnalis nyambi kuliah di salah satu kampus swasta di Banten. Bagi saya, ia sukses tapi entah lah, nampaknya ia sedang dan terus mengejar impian besarnya. Sukses versinya mungkin lain, berusaha sampai titik di mana tak ada lagi jalan. 

Saya pun teman yang bagi saya, karirnya cemerlang. Kuliah di salah satu kampus favorit di Banten nyambi mengajar di sekolah di mana dulu kami mengajar. Setelah selesai kuliah, mengajar di beberapa madrasah swasta. Sudah menikah, punya anak lucu, isteri yang cantik dan citra keluarga harmonis.

Saya dapat kabar, katanya sekarang melepas semua profesi mengajarnya dan fokus di rumah membantu mengajar di pondok bersama keluarganya. Oya, bapaknya punya pondok dan ibunya anak salah satu Kiai terpandang di wilayah Serang. Sebenarnya, agak kaget saya mendengarnya apa lagi darinya langsung soal memilih tidak mengajar, tapi ya mau apa, toh itu pilihannya.

Dari semua nasib dan kesuksesan teman-teman saya itu, saya memahami satu hal, sukses versi kita tak selalu sama dengan apa yang orang pikirkan. Alasannya sederhana, tiap orang punya misi dan keinginan masing-masing. Ini tentu saja keunikan tersendiri. Status selebriti mungkin suskes bagi kita, tapi suksesnya mereka tak sedikit yang merasa kesepian lantas memilih narkoba menjadi pelariannya. Terciduk BNN rasanya sudah jadi rahasia umum.

Menurut Islam sendiri bahagia sederhana, saat kamu merasa tenang hatinya. Hati tenang berefek pada tenangnya hidup. Tapi harus tahu dasarnya, yakni iman. Iman itu percaya kepada Allah dan aturannya. Ikuti aturannya semampu yang kita bisa, di tarap itu akan ada rasa syukur di hidupmu.

Tak usah membandingkan dengan hidup orang lain kalau dengan membandingkan membuatmu lebih lemah, susah dan cemas sendiri. Pada jadinya, bahagia itu proses yang kita ciptakan bukan sekedar kita tunggu dan bayangkan. Orang yang kita sangka tidak bahagia, bisa saja lebih bahagia daripada yang kita bayangkan.

Namanya Abah Pulung. Tiap hari menjadi kuli panggul di Pasar. Selain itu, kalau ada orang minta dipijat dan urut beliau menyanggupi. Tidak ada yang istimewa. Kalau kamu penampilannya pun biasa saja, tapi beliau rajin duha dan kopiah tak lepas. Singkatnya, citra santri nampak di sana. 

Siapa nyana, beliau punya anak yang seorang ustaz muda dan punya santri yang lumayan. Saya dengar, sekarang sudah tak ke Pasar lagi fokus menemani perjuangan anaknya di rumahnya. Di balik kesederhanaan itu, ada hal yang beliau syukuri. 

Oleh sebab itu, mencari bahagia itu fokusnya ke diri kita. Pikiran kita. Perasaan kita. Mengolah hal pahit dengan kacamata positif, bukan melihat dengan kecurigaan. Biarlah orang tidak menyebut kita bahagia, biarkan saja. Bahagia kan bukan kata orang, kata orang itu kalau seumpama masakan seperti bumbu. 

Namanya bumbu bisa melezatkan masakan, selama sesuai porsinya. Tak bisa main campur tanpa perhitungan. Begitulah omongan orang, saat tak mampu dikelola dengan baik akan mengubah rasa hidupmu lain. Tak lagi gurih. Tak lagi berwarna. Tak lagi enak seperti yang kamu bayangkan.

Oleh sebab itu, saat orang lain peduli denganmu dengan cara mengkritik hidupmu maka soalnya adalah, kita mau menerima apa menolak. Semua tergantung sikap dan pilihanmu. Kamu kan merdeka, kok merasa terjajah dengan omongan yang tak peduli dengan masa depanmu? Paham sejauh ini? Kalau enggak, ya sudahlah. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 28 April 2024    17.27

Posting Komentar

0 Komentar