Kisah Kita Tak Seheboh Selebritis

Di usia yang tidak unyu lagi, saya menyadari tantangan dan ujian di depan mata. Mataku, matamu dan mata kita. Semua kepastian yang tak bisa lagi di gugat, tiap yang bisa kentut pasti harus teruji. Dikeluarkan bau apek. Dipendam bakal perut krunyus tak jelas.

Meskipun begitu, aku bersyukur dianugerahi wanita-wanita manis di sisiku. wanita yang bukan super women yang kurang sopan itu loh, masa pakai celana dalam di luar? Ihh, apa jadinya kalau terjadi di sekitar kita, bisa-bisa ramai percaturan obrolan warung kopi kita.

Pada akhirnya aku tahu, mencintai bukan bagaimana kita harus memaksakan orang yang kita cintai selalu sama dengan keinginan kita. Mencintai adalah proses aku dan kamu menjadi kita. Kita mencipta apa yang buat kita nyaman, betah dan ceria. Di terjang masalah bukan lari, tapi saling mendengarkan kejengkelan.

Di antara yang manis itu, ya kamu. Yang sering ngambek, kesal dan jengkel tak tentu arah. Sebal seharian tanpa tahu masalahnya apa, dan sebesar apa. Tanpa tahu, itu emang penting atau bias. Kadong ngambek, semua terlihat ngeselin, katamu begitu.

Siapa nyana, aku yang kalem diam-diam punya cem-cem yang sering buat teka-teki nakal. Hihi. Nakal emang, masa orang kalem diajari rayuan gombal tingkat mamang baso?! Ihh, mana lucu lagi. Heuh, suka sih, cuma ketagihan nanti.

Kata orang, orang itu manusia ya. Aku itu tipikal orang serius. Alasannya apa? Ya, mungkin karena kopiah, mungkin karena janggut, mungkin karena bacaan atau mungkin karena kamu di di hatiku. Hihi. Aneh sih, heran juga. Pada apa yang kita jalani, nikmati, pahami dan terus pupuk agar makin subur sampai kita kehabisan stok sabar, kapan kita seromantis mereka yang lebih dulu menjemput takdirnya?

Tapi ya itu, mana ada di kamusnya kamu menyerah apalagi memilih kalah. Dasar udah manis, kok militan begitu. Ah ya, namanya anugerah. Diterima saja, jalani sampai mana takdir melabuhkan.

Kita mah tak usah berharap muluk-muluk, sudah satu frekuensi saja cukup. Satu pikiran dan pemahaman, yang kadang banyak salah paham. Ribut lagi, terus akur lagi. Lebih banyak akur sih, cuma kadang beda kalau sudah ribut kok terasa makin lengket.

"Kan aa," katanya suatu waktu, "sering Ning mahabbah tiap saat," jawabnya dengan senyumannya. Mahabbah itu istilah kami soal dipelet, diguna-guna. Cuma candaan sih, pada akhirnya kami tahu, kami saling cinta dan berharap di bawah naungan kasih-Nya.

Alhamdulillah baru saja khatam tahfiz 30 juz, masya Allah, tabarakallah. Senang pasti, bangganya juga. Bukan apa-apa, akhir setoran terkendala ujian-ujian yang cukup berat. Mulai dari ayahandanya  pergi ke hariban-Nya, ibu sambungnya pulang ke anak sedarahnya, tinggal sendiri dan sederet konflik panas di keluarga.

Aku di sini, yang memang sama bergerilya dengan ujian cukup melelahkan hanya bisa setitik demi setitik menyuntikan kata yang buatmu terjaga, di langit manis ada mentari. Ada purnama, ada bulan. Ada aku, ada senyuman manismu. Di atas segalanya, ada Allah. Jangan merasa sendiri.

Kata yang sering kuulang, seolah aku motivator sok bijak. Aslinya, ya kalem sih. Haha. Begitulah sedikit kisah kita yang tak seheboh orang yang sering nongol di layar YouTube itu. Kita mah cuma heboh berdua saja, tanpa tahu menghebohkan apa. Haha.

Pada akhirnya aku tahu, mencintai bukan bagaimana kita harus memaksakan orang yang kita cintai selalu sama dengan keinginan kita. Mencintai adalah proses aku dan kamu menjadi kita. Kita mencipta apa yang buat kita nyaman, betah dan ceria. Di terjang masalah bukan lari, tapi saling mendengarkan kejengkelan.

Itu tandanya kita tak sempurna, karena yang Maha Sempurna hanya Gusti Allah. Yang sempurna, ya merek rokok Sampoerna Kretek, sih. Kalau kita mah, sama-sama belajar dan berusaha menyempurnakan.

Malam semakin pekat. Segelas kopi sudah tandas satu gelas. Cemilan habis dua bungkus mungkin. Mata mulai terasa berat, tapi ada yang selalu berkecamuk di dalam dada. Minta jatah pada satu rasa yang merasuk di jiwa. Inginnya bersama, takdir lagi-lagi tengah mengulurnya.

Ah malam, nampaknya basah menemai lagi kerinduan ini. Entah sampai kapan. Sampai lelah dan mengantuk, mungkin. Hem, ya sudahlah. (***)

Pandeglang, 1 April 2024   00.20

Posting Komentar

0 Komentar