Empat Hari Setelah Lebaran


Empat hari setelah lebaran Fitri, ada jadwal dan target yang harus saya kerjakan. Jadwal itu di antaranya berkeliling silaturahmi, baik ke keluarga besar almarhum kakek dan bapak. Tapi jadwal nampaknya tinggal jadwal, kesibukan di rumah menyita tenaga dan waktu.

Target menulis pun agak tersendat. Draf bacaan tinggal tontonan. Dibilang galau, ya pasti. Di bilang menyesal, gak juga. Menyesal kenapa, wong waktu digunakan masalahat.

Pasca lebaran tempat wisata tengah ramai-ramainya. Ramai dari saudara-saudara kita yang baru punya waktu luang dan uang. Ada ke yang ke pantai, tempat pemandian atau mencari tempat-tempat unik lainnya. Dilaporkan media, di beberapa ruas jalan kawasan Banten macet total. Terutama kawasan menuju kawasan pantai di Banten. 

Saya sendiri orang yang tidak terlalu nyaman woro-wiri seperti itu. Apalagi harus terjebak berjam-jam demi sampai tujuan. Saya sungguh malas. Malas membuang waktu di tengah kemacetan seperti itu. Saya belum kelasnya para auliya yang jiwanya sudah terkoneksi dengan dzkir.

Di tengah macet, hatinya adem dan lisannya basah oleh kalam suci; pikirannya sibuk memikirkan tiap hikmah yang terlihat. Kalau saya pasti ngedumel, kesal atau meluapkan rasa jengkel. Betapa jauh kualitas diri.

Untuk itu, saya kurang suka dengan keramaian. Pernah di tahun yang cukup lama saya menulis soal begini, kenapa orang-orang yang mudik cita-citanya ingin silaturahmi tapi pas di kampung halaman lebih nyaman di tempat rekreasi. Lebih asyik di pantai dari pada lesehan di rumahnya.

Kontan saja tulisan itu menjadi pro-kontra. Tulisan itu menjadi perbincangan sengit di kawula medsos, dan rata-rata tidak setuju. Saya pun diberi stigma bla-bla. Heboh pokoknya. Padahal poin tulisan itu sendiri sederhana menyoroti sebagian kita sibuk menghabiskn liburan di tempat wisata, sedangkan di lain sisi lupa esensi mudik untuk apa.

Makin ke sini saya jadi paham, ternyata tulisan itu sekalipun benar tapi kurang bijak. Tiap orang punya hak dan keinginannya masing-masing. Apa yang buat kita biasa mungkin bagi orang lain berharga. Misalnya, waktu luang.

Waktu luang saya biasanya digunakan, kalau tak membaca, menulis, ya merumpi. Merumpi itu mengungkapkan rindu yan di sanubari. Haha. (***)

Pandeglang 14 April 2024  23.29.

Posting Komentar

0 Komentar