Status

Diambil di pixabay.com

Tadi siang, saat belanja plastik di salah agen di sekitar Pasar. Seorang karyawannya iseng membakar kertas buat struk belanjaan, dia bilang, "lihat, bang. Ini bawahnya terbakar, atasnya enggak loh."

Saya respon, "Iya kah?"

"Iya, Bang. Lihat gih!" Serunya macam tukang sulap. 

"Abang baru tahu, ya?"

"Iya," jawab saya singkat, dengan senyum ala kadar.

"Di usia Abang sekarang, baru tahu?" tanyanya yang heran, "Emang berapa usia, Abang?"

"Tebak saja," iseng meresponnya.

"Dua sembilan, ya?" kata kasir wanita di depan saya.

"Mungkin," begitu jawab saya, "karena saya lupa sama usia sendiri."

"Lahiran tahun berapa, bang?" timpal karyawan laki-laki.

"Tahun sembilan tiga. Apa ada yang seusia saya di sini?" 

"Saya sepuluh tahun di bawah Abang," katanya.

Si karyawan wanita langsung pencet kalkulator sambil bergumam, "Sembilan puluh tiga dikurangi dua ribu dua empat. Jadi, tiga puluh satu." Katanya.

Saya mendengarnya pengen ketawa, ngapain pula usia di hitung begitu macam menghitung daftar belanjaan. Obrolan tidak hanya di situ, si karyawan laki-laki nanya pula, status saya, apa sudah menikah. Saya jawab, ya belum. Kalau saya, sudah katanya. Bohong, kata karyawan wanita. Kenapa, bang, kepo bertanya. Karena calon saya jauh, begitu saya jawab. Iya, jauh di mata dekat di hati, lirih saya di hati.  Hihi.

Dia juga tanya, apa hukumnya pacaran. Saya menjawab, tiap orang pasti tahu. Lagi-lagi karyawan wanita menimpali, haram lah. Terus, apa benar seorang suami bertanggungjawab kepada isterinya. Saya jawab, tergantung isterinya, apa taat apa tidak dan seterusnya. 

Diberondong pertanyaan begitu saya kok merasa macam Mamah Dadah. Cuma itu, bukan di tempat yang tepat. Harusnya ya di majelis ta'lim, lah ini di tempat kasir. Haduh, ada-ada saja. Walau pun saya memahami, ada banyak yang ingin ia tahu dari Islam. Apa salahnya saya ikut memperkenalkannya, begitu kata Gus Baha. (***)

Pandeglang, 29 April 2024  23.32

Posting Komentar

2 Komentar

Menyapa Penulis