Hape Rusak

ilustrasi diambil di Pixabay.com

Sudah dua hari ini adik saya berinisial M, terkenal aktivis kampus yang garang, tengah galau. Galau bukan karena putus cinta atau ditinggal selingkuh kekasihnya, bukan. Ia galau karena hapenya mati, entah terbanting saat hiking ke gunung atau murni mati karena terendam dengan kumpulan cucian di kamar mandi. 

Di sinilah enaknya jadi anak. Tinggal merengek dan ngambek ke orang tua. Terus begitu saja memberi jarak biar orangtua "merasa bersalah" sampai nanti bilang, "Ya udah lah, beli baru sana!"

Hape yang selalu melekat di tangan, entah kenapa saat itu tersimpan di saku celananya. Celana yang penuh lumpur bekas bertempur dengan tanah. Adik perempuan saya, tanpa habis pikir merendam kumpulan pakaian tak berwujud itu. Siapa nyana di dalamnya ada hape!

Benar saja, di sana ditemukan hape yang sudah terbujur kaku. Telah dilakukan upaya pertolongan pertama pada hape itu, naas, ia koma. Terdiam dengan tanya dan cemas, kenapa kau mati di saat tagihan melilit kami, hai hape! Haha.

Adik saya pun ngambek. Uring-uringan ga jelas. Emosi.  Ngamuk gak pada tempatnya. Sekarang pergi meluapkan kejengkelannga, entah ke bumi apa. Intinya, ngambek. 

Di sinilah enaknya jadi anak. Tinggal merengek dan ngambek ke orang tua. Terus begitu saja memberi jarak biar orangtua "merasa bersalah" sampai nanti bilang, "Ya udah lah, beli baru sana!"

Kenapa saya bilang begitu? Dengan "ngambek" sebenarnya kita sudah berbuat dzalim pada orang tua kita. Tujuan kita ngambek kan agar orang tua sadar dan mengganti hape yang baru. Entah lunas atau kredit belinya terserah.

Sebagai anak kita acapkali egois, ingin terus dituruti. Padahal kita gak tahu, dapat dari mana itu uang untuk menutupi ingin itu. Atau, kalau pun ada, ada berapa daftar belanjaan yang harus di coret. Sayangnya, kita menutup diri soal itu. Sekalipun tahu, kita pura-pura tidak tahu. Bukannya kewajiban anak meminta, ya? Begitu pembenaran diri kita.

Di sinilah letak kasih ibu tiada tara. Kasih orang tua tiada harga. Untuk ingin anaknya, walau ia tak mampu dan harus berkorban untuk inginnya banyak yang melakukannya. Alasanya sederhana, cinta pada buah hatinya. Senakal apapun anaknya, itu anaknya. 

Meskipun untuk menuruti keinginannya, ada tangis yang senyap keluar. Ada gerutu yang tak terucap. Ada gores luka tak teraba. Lihatlah, ibumu masih terus tersenyum. Perhatikanlah, ayahmu masih tetap bijaksana. Demi anaknya, semua diusahakan ada. Apalagi kalau sampai anaknya ngambek yang tak kenal hari, maka kesabaran itulah yang menguatkannya.

Dipikir-pikir, cinta dan kasih sayang orang tua ke anaknya sebegitu besar maka betapa lebih besar cinta Allah pada hamba-Nya. Cinta yang tak kenal batas, rupa dan pilihan. Semua hamba dapat porsinya masing-masing; tak kenal maksiat atau taat, muslim atau bukan, pasti diberi.

Allah di beberapa keterangan melaknat hamba yang masih ingkar, tapi di lain sisi masih membuka pintu taubat selama yang bersangkutan serius. Jangankan seorang muslim, seorang kafir pun yang banyak melakukan dosa-dosa pun masih diberi harapan surga sebelum nyawa sampai tenggorokannya.

Begitulah cinta Pemilik Semesta, tak lekang oleh waktu dan tak lepas sampai nanti di alam keabadian. Sayangnya sebagian kita sering kurang peka membaca sinyal-sinyal ini. Kita merasa, selalu besar dan ingin dituruti sampai di atas segalanya kita lupa ada yang Maha Besar, itulah Allah. swt.

Lantas, bagaimaana soal hape rusak? Saya pikir ini renungan untuk kita lebih hati-hati menjaga apa yang kita miliki sebelum mati, tak berfungsi apa adanya. Terkhusus adik saya yang sering teledor menjaga apa yang dimiliki tanpa hati-hati merawatnya.
Wallahu'alam. (***)

 Pandeglang, 2 April  2024.   22.05

Posting Komentar

0 Komentar