Emak Cari Musuh

Mejeng di walimah kemarin, eh kapan nyusul, katanya. Hihi.

Minggu kemarin saya ikut mengantarkan saudara ke pernikahan anaknya, lebih tepatnya walimah ke dua seteh di tempat manten wanita. Sepanjang perjalanan ke sana itu saya menikmatinya, dengan motor yang sepuluh tahun lebih setia menemani.

Saya melihat begitu banyak warung berjejer tiap kampung. Jalan yang sebagian sudah bagus, sebagian tak ubahnya jalan yang biasa disinggahi kerbau. Penuh debu, bolong dan bergelombang. Lumayan lah buat kendaraan saya goyang-goyang manja gitu.

Sepanjang jalan itu, saya melihat banyak warung berada tapi sepi pembeli, dipiki-pikir sih ya lah, warung banyak yang beli kok itu-itu saja. Lagian banyak warung tak sebanding dengan kelengkapan barangnya, satu sama lain ala kadar saja. Yang kasihan nanti yang beli, mau beli ke warung terdekat tapi ke lengkap. Mau ke warung lain tak enak hati, masa iya harus terlihat nyata.

Aku jadi ingat Emak. Emak pun nge-warng di rumah, baru setahun lebih sih. Keinginan Emak yang iba-tiba buka warung sempat kami kaget, bagaimana tidak kaget, tiba-tiba ini. Belum di depan kami sudah berdiri warung yang sudah lebih dari 30 an lebih berdiri, di mana aku belum lahir. Mau gimana lagi kalau Emak sudah memutuskan.

Awalnya sih iseng membeli belanjaan buat si bungsu dan cucu. Tiap belanja paling satu platik hitam dan kadang merah. Begitu tiap hari. Singkat cerita, teman-temannya main ke rumah. Melihat jajanan yang beragam, mereka tergoda. Membelilah. Seterusnya begitu, pesan ini pengen itu. Berlanjut ke mana usaha harus diseriusi.

Ketika Emak serius membuka warung di dapur terjadi pro-kontra antara emak mempertahankankan tesisnya dan kami yang khawatir dengan resikonya. Di depan rumah kami ada warung yang lebih dulu berdiri dan warung lainnya, dan kami tahu bagaimana karakter pemliknya.

Dengan Emak membuka warung sama saja menabuh gendang perang, tepat di depan rumah ada warung yang sudah lama buka dan warung-warung lainnya. Di sini menghadapi dua kutub, satu sisi bersaing dan satu lain menambah peluang. Namanya persaingan penuh intrik dan cerita klenik. Semua terhampar di depan mata.

Pada akhirnya kami pun mengalah mengikuti ingin Emak. Lagian ada bagusnya juga sih emak berjualan jadi ada aktivitas harian yang bisa dilakukan. Jadi tidak stuk terus di rumah sehingga membunuh kebosanan. Selain itu, sedikit banyak menambah pemasukan di saku rumah tangga. Kebutuhan membengkak dan pemasukan menipis.

Qodarullah, satu tahun terjalani. Semua yang Emak lakukan, dalam hal ini soal membuka warung jadi awal kisah-kisah di rumah kami. Keceriaan yang lama hllang terasa kembali, kehangatan yang sirna mulai tumbuh kembali dan dapur yang terasa kering terasa geiiatnya. Untuk itu, tak ada kata mundur lagi.

Ada pun soal gesekan sosial, mulai dari dibenci dan sejenisnaya saya pikir itu hal biasa. Toh, tidak nge-warung apa tidak, ada saja orang yang benci dan tak sepemikiran. Alangkah elok bukan memandang itu batu sandungan tapi kenyataan dalam kehidupan yang harus dihadapi.

Dari keputusan emak ini, aku memahami bahwa yang berat itu bukan hidup tapi sikap kita memaknai hidup. Istilah miskin-kaya, pintar-bodoh, cantik jelek itu bukan istilah baru ada. Semuanya kenyataan dari jaman azali sampai nant alam mayaada menemukan akhirnya, yakni yaumil akhir. (***)

Posting Komentar

0 Komentar