Sakit, Sifat dan Kita


Emak kembali sakit dan di infus. Ini bukan kabar sih lebih ke catatan aku sebagai anaknya. Pada akhirnya siapa pun bisa sakit pun bisa sembuh. Atau ada di antaranya. Seharusnya itu hak biasa yang jamak kita temui, cuma berbeda kalau kita sendiri mengalaminya.

Karena aku sekarang mengalaminya melihat Emak sakit maka rasanya agak lain. Berbeda kalau orang lain sakit. Sebenarnya, ini sikap egosentris di diri kita. Kenapa saat orang lain mengalami rasa sakit kita biasa sedang giliran kita sakit orang lain harus tahu atau sedikitnya prihatin.

Seharusnya, ya sudah, kalau kita tak peduli maka ga usah berharap diperdulikan. Lebih adil. Kita ingin keadilan hanya untuk diri kita, saat orang berharap keadilan kita berpikir berkali-kali untuk ikut adil di sana.
Kembali ke pembahasan di atas, soal emak sakit.

Emak dan sakit itu dua kata. Menyatu karena di satukan. Kalau sakit gak ada, Emak sembuh, pun kalau gak ada Emak pun bisa sakit.

 Jadi mengumpulkan dua kata dalam satu kalimat punya makna lain. Sakit itu sifat sedangkan Emak itu manusia. 
Kalau manusia punya sifat, tidak dengan sifat, yang bukan manusia. Ia bisa beriringan ke hewan, binatang, melata pun tumbuhan.

Misalnya kepada tumbuhan kita jarang menyebutnya sakit, contoh: Oh, pohon pepayanya masih sakit, pantas belum bertelur. 

Tentu saja tidak.

Kita menyebutnya, bukan sakit tapi tidak subur atau hendak sakarat. Itu pun tiap daerah berbeda penyebutan. Singkatnya, sakit itu sifat. (**) 


Posting Komentar

0 Komentar