![]() |
Lagi tidak serius kerja. (Sumber: Pixabay.com) |
Bapak yang tidak terlalu tua itu berbicara agak sarkas, "Anak saya, sudah kerja semua," di depan kami, anak Emak. Emka juga ada juga.
Entah apa niat bilang seperti itu, apa sekedar ingin memberitahu kami atau mungkin ingin pamer bahwasannya kelasnya sekarang tidak lagi sama seperti kami, sekelompok makluk Tuhan yang belaga idealis.
Mendengarnya, respon Emak biasa. Kami juga sama, biasa, karena manut. Selain itu, kenapa harus menanggapi secara serius, mungkin saja ia hanya sedang cerita. Jadi tak usah ditafsirkan secara dua macam.
Apa yang spesial bekerja, ya sudah kalau sudah bekerja. Definisi kerja kan, digaji oleh suatu badan untuk mengerjakan sesuatu nanti diberi upah setimpal. Seberapa upah itu sebagaimana keras ia kerja.
Masalahnya, definisi kerja sekarang agak rancu kalau menggunakan kesimpulan ILO (International Labour Organization), bahwa mereka yang pekerja (seharusnya) yang kerja lebih dari 40 jam seminggu.
Kalau kurang dari itu dicap sebagai pengangguran. Itu versi organisasi dunia, yang sederhananya, siapa saja yang kerjanya sehari kurang dari 8 jam maka ia pengangguran, seperti apa pun keadaanya.
Ini berbeda dengan Emak, bagi Emak definisi kerja itu ketika kamu bekerja dengan niat yang baik dan punya ambisi agar lingkunganmu punya budaya yang akrab dengan aktivitas literasi dan keagamaan. Harus double kuadrat, kalau hanya satu kaki, maka itu belum dicap kerja
Selama itu kerja hanya formal, datang kerja pulang bawa capek dan menunggu pesangon, hanya sekedar itu, di mata Emak belum memenuhi syarat sebagai orang pekerja. Sejatinya, ia hanya pengangguran yang sekarang belum terasa, untuk nanti tidak efek kepada bekal abadi hidupnya.
Membicarakan prinsip Emak begini memang terasa mengawang-awang, berada di kutub yang ke kanan. Padahal hari ini paham itu, ada paham kanan-kiri dan paham di antara kiri dan kanan. Bahkan saking masyuknya, ada yang berada di kutub belakang meskipun tak mau mengaku terbelakang.
Sejauh ini obrolan keluarga kami soal kerja memang tak sepanas soal politik, sosial atau nasib literasi di negeri tercinta. Apalagi soal kasus sebagian tokoh agama yang kurang akal rela menggadaikan ilmunya demi kepentingan semu.
Hal yang kadang kami perdebatkan justeru bagaimana nasib generasi muda yang lahir dari rahim Islam, apa memang akan menjadikan medan dakwah jadi foksunya, atau justeru seperti kebanyakan yang kita lihat skeptis soal menghidupkan ajaran yang bisa saja lekang oleh minta pemeluknya.
Tentu saja obrolan ini tidak kami sampaikan pada bapak yang belum sepuh ini, bagi kami apa yang beliau banggakan adalah hal biasa. Semua orang bisa asal ada kemauan. Apalagi ini ranah kerja, yang siapa saja bisa masuk ke dalamnya. Dunia yang membungkus pada kebebasan bersikap.
Mungkin kami akan lebih tertarik kalau anaknya itu menjadi pelopor gerakan perubahan di tempat kerjanya, pasti anstusias. Kalau hanya mengandalkan gaji, kesibukan, atau enaknya kerja, maaf, kami kurang tertarik.
Kami lebih tertarik pada mereka yang sekarang berjuang dengan segala resikonya demi warganya. Misalnya kasus Pagar Laut yang menarik munculnya Pak Kholid, sosok yang biasa dan berpenampilkan biasa tapi sudah membaca buku Logika Penjajah penulis Banten. Padahal nelayan dan petani, yang tiap hari mikirin musim.
Kesimpulannya, benar kami di pandangannya hanya seperti kerupuk tanpa minyak yang kurang gurih. Di matanya, yang gurih itu yang sudah digoreng, tinggal hap saja. Ya terserah, setidaknya, walau kami kerupuk belum di goreng tapi kami punya harga. Itu saja. Selebihnya, Allah yang Maha Tahu. (***)
Pandeglang, 10 Januari 2025 21.57
0 Komentar
Menyapa Penulis