Bagiku Itu Indah

potret tengah berpikir. (Sumber: pixabay.com)

Sore tadi aku sehabis mandi aku bercermin, di sana terpampang wajahku. Laki-laki yang beranjak makin dewasa, rahang yang keras dan tatapan sedikit tajam. Sorotan yang sendu dan kadang menantang. Itu lah aku, di usia yang lebih dari tigapuluhan tahun.

Masih belum beranjak dari belitan kisah juga mimpi-mimpi, sudah sejauh ini begitu drama yang aku alami. Pindah dari satu hati ke hati lain, bukan ingin mengecup madunya lantas meninggalkannya. Tidak, aku bukan laki-laki begitu.

Aku sedang mencari titik dari titik hingga sampai pada kepastian, mungkin kamu jodohku. Ternyata, menemukan jodoh itu tidak mudah. Ada yang seperti nasib layangan, tarik ulur- dilepas sayang tak dilepas ingin ia bahagia. Ada yang bertahan tapi diikat dengan banyak syarat. Ada yang pergi tanpa permisi. Ada justeru yang bertahan, bagaimana pun akhirnya, intinya harus sama kamu, begitu katanya.

Aku mengalaminya.

Jadi, ketika orang bertanya, "Carilah calonnya, masa mau pasrah begitu," kata mereka yang peduli denganku dan melihat aku kok tidak tertarik pada wanita.

Aku biasanya tersenyum. Tidak mungkin aku lantas cerita terus sambil menangis bombay mengatakan padanya, aku sudah belahan hati yang hatinya sudah menyatu tapi jasadnya terpisah ribuan kilometer. Untuk apa. Biarlah ia tetap kasihan, toh gak bakal menambahkan mahar, kalau esok jadi sama dia.

Atau ada yang begitu sinis bilang, "Hah, gak laku. Jodoh ditunggu, biar datang apa adanya. Gimana kalau yang datang nenek-nenek, siap, menerima?!" ujarnya begitu keras sehingga hampir yang kebetulan dekat aku mendengarnya.

Tentu aku tahu, orang begini hanya ingin mengejekku pun menghina diriku. Tak perlu jugalah aku ceritakan seperti apa kisah cintaku. Lagian kisah kami bukan kisah cinta yang spesial di matanya, biarkan saja ia puas dengan semuanya.

Biasanya dengan senyum masam aku menimpali, "Mau menyumbang berapa gram kalau besok aku datangkan calonku? Terus mau menyumbang apa," gedek juga sih. Biasanya dia semaput macam makan bakso tapi tinggal airnya doang.

Kalau dia mengiyakan, kan enak, nikah gratis. Hiii, tapi dia takut termakan omongannya. Ya udah, meskipun terus berulang-ulang aku pada omonganku yang awal, apa yang bisa dia beri, jadi tak sekedar berkata tanpa bukti. ciutlah!

Ada juga yang agak lain berkata soal hukum menikah, kaifiat dan hikmah di baliknya. Katanya begini, begini terus begitu. Aku sih menyangkal, kembali saja pada hukum nikah apa. Lagian ulama di fiqih jelas mengatakan, hukum nikah tergantung keadaan dan alasan yang bersangkutan.

Bisa haram, mubah, sunah, makruh bahkan wajib. Untuk siapa? Untuk mereka yang tercukupi syaratnya. Kalau belum lengkap tak usah dipaksa-paksa, semua ada masanya. Takdir manusia berbeda-beda, karena aku manusia juga makanya wajar berbeda.

***

Tahu gak sih, kadang aku tersenyum dengan jalan hidupku. Kadang aku tertawa, kok kisah cintaku macam novel saja. Penuh hiruk-pikuk. Ketika menemukan yang tepat, eh terganjal restu. Atau ketika merasa lelah eh tiba-tiba yang datang menyapa hati.

Bagiku itu indah. []

Pandeglang, 13 Februari 2025  0.07

Posting Komentar

0 Komentar