Beberapa Hari Tanpamu

sibuk dan sendiri, beberapa hari tanpamu (sumber: Noice podcast)


Sibuk, sibuk sekali sampai semua benar di matamu. Apa yang buatmu rasamu tersinggung langsung tancap gas, “kamu salah” dan “aku benar”. Sudah, tak ada kata lagi maaf apalagi serius mewarnai dengan yang baik.

“Maaf ya, sibuk.”

Kalau sibuk, apa iya tak ada waktu bernafas untuk menikmati kebersamaan tanpa dibumbui prasangka, tuduh menuduh pun merasa paling benar sendiri. Ketika kamu sibuk dengan duniamu, maka aku ingin pula sibuk dengan duniaku, untuk mengisi waktu yang pastinya kosong.

Duniaku adalah buku. Hobiku adalah menulis. Maka dua itu yang aku lakukan, dan reaksimu, “sudah, fokus saja sana membaca,” dengan lafal yang terbaca kurang bersahabat. Apa sih salahnya membaca, menulis bahkan tenggelam di lautan kata.

Giliran dijelaskan, bukannya mau memahami malah bersikap antipati. Entahlah, apa aku dengan hobiku salah apa aku dengan waktuku yang seharusnya habis dengan ribuan buku yang belum pula aku baca, sengaja aku tinggalkan agar bisa menenamimu, namun tetap saja salah.

Bagaimana aku bisa dipisahkan dengan buku, kata dan tulisan karena ia lebih dulu menyatu di hariku. Menjadi teman yang selalu ada seperti apa pun rasaku. Bagimana pun emosiku. Seberapa pun sibukku, tanpa itu rasaku selalu sunyi.

Beberapa hari ini aku kehilanganmu, dan aku makumi. Beribu kali itu diujarkan. Tak apa, bagiku pokok sebuah hubungan adalah saling memahami. Namun, sikapmu tetap saja begitu, seolah dengan sibuk lupa dengan kebersamaan. Sekalinya ingin kehangatan, terjadi salah paham sampai harus pula mengancam mengakhiri semuanya, putus!

Teledor sebenarnya, tapi ya sudah, untuk apa mempertahankan apa yang tidak hangat. Toh, bukan aku yang bilang, dan entah bagaimana aku yang bilang mungkin lebih runyam, karena pada akhirnya laki-laki harus selalu salah seperti apapun benar mereka. Mereka bersikap masa bodoh, seolah tidak paham, padahal tengah menerka, sikap seperti apa yang perlu dilakukan.

Aku hanya melihat masa depan, sekarang saja punya kesibukan yang begitu amat lain apa nanti kalau menjadi orang yang lebih sibuk, apa mungkin menjadi orang lain? Sebab, aku sibuk, tapi tidak lupa, skala proritas apa yang perlu kita lakukan agar tetap hangat bersama pasangan kita.

Kita gak bisa memaksa terus memahami rasa dan pikir kita, lantas bersembunyi, maaf, aku sibuk lantas bersikap semaunya. Padahal ia punya hak sama, ingin diperhatikan dan butuh kehangatan. Ia manusia yang punya rasa dan resah, karena ia pasanganmu maka ia meminta padamu bukan pada yang lain. Resikonya, kamu yang harus pandai membagi waktu.

Dasar manusia ya, semua punya kekurangan. Kita tidak bisa mengajari burung yang terbang, kita hanya bisa mengajari bebek yang berenang. Tak ada manusia yang ingin disalahkan pun menerima disalahkan. Toh pada akhirnya, semua akan kembali pada tidak sibuk, setelah sibuk lupa lagi.

Begitulah kita, betapa murahnya harga sebuah komitmen. 

Sebagai penulis, tentu saja aku berpikir sederhana, kalau dunia nyata tak bisa membuatmu nyaman maka kembali pada kenyamananmu. Terlalu mahal waktu habis larut di sebuah prasangka, maka membaca dan menulis semoga menjadi pelipur. Sedangkan doa, cukup Allah yang tahu tak usah dicurahkan di goresan tanpa koma ini.

Semoga rasa sakit kemarin, sekarang dan esok kembali fit lagi. Karena, kita harus percaya, dirimu adalah inginmu maka warnai harimu dengan pikir sehatmu bukan pikiran lain yang membuat harimu muram tanpa senyum manis pagi, kehangatan siang dan cahaya teduh sore menuju malam yang penuh mimpi. Selamat istirahat jiwa, semoga segelas kopi kembali memberimu pahit kenikmatan. (***)

Pandeglang, 23 Februari 2025  00.05

Posting Komentar

0 Komentar