Kamu Bukan Hujan

 

ilustrasi hujan yang sedang musim. (kompas.com)

Hujan yang mengguyur sebagian kawasan Jabotabek, ternyata lebih dulu menyirami kamu eh wilayah rumah kamu. Hujan itu terus mengguyur sampai membuatmu dingin, sinyal tak normal dan rasamu tertular tak baik pula.

Sinyal itu membuat komunikasi kita agak terganggu, karena memang kebersamaan kita terpisah oleh teknologi. Tak ada sinyal, ada pesan yang sulit terkirim. Ada kerinduan tak tertuangkan di bilik kebersamaan.

Kita ingin menyalahkan siapa, kita ingin jengkel ke apa, dan aku-kamu kesal biasanya. Kita mencari luapan kekesalan, siapa yang harus dipersalahkan.

Karena aku lelaki, maka sering kena salah. Karena kamu perempuan, sering menyalahkan. Walau pun salahnya tidak jelas, di mana yang salah sesungguhnya. Karena kita salah sama salah, atau keadaan yang membuat salah atau justeru kesalahan itu sendiri yang jadi memicu kesalahan.

"Harusnya, sekali-kali kamu peka," katamu. 

Aku pun berpikir seperti si Dora mencari peta lokasi, apa arti peka itu? Apa maksudnya aku harus diam sok kalem mendengarkan ia yang ingin meluapkan kesalnya? Atau aku, harus mencari peka, itu hewan atau istilah saja.

Biasanya aku didiamkan. Aku pun harus mencari alasan kenapa ia begitu dan aku begini. Padahal aku gak pernah sama sekali mau berbuat masalah, cuma masalah kadang berbuat yang bikin runyam.

Hujan masih deras, dan begipula mimpi kita. Entalah, apa semua ada konspirasi di baliknya atau tak ada yang di konfirmasi saja.

Meski pun hujan deras, aku tahu hujan proses fisika yang banyak di bahas banyak pakar eksak. Tidak dengan deras jiwamu, tidak semua akses ke sana. Untuk tahu pada proses tersebut maka dicari penilain awalnya. (**)

Posting Komentar

0 Komentar