Mati Lampu


sumber: haibunda.com

Dua hari lalu kampung kami gelap gulita. Aliran listrik terputus di kampung sebelah, begitu kata info yang tersebar. Dari siang sampai malam, desa kami gulita. Gelap sekali. Kampung terasa sunyi. Tidak leluasa ke berjalan. Pengap.

Hampir semua orang mengutuk kegelapan. Matinya lampung terasa seperti kematian aktivitas. Meski pun sebagai pedagang kami agak diuntungkan karena lilin laku keras. Lilin seperti air sejuk di tengah padang sahara.

Di waktu gelap itu aku membayangkan, gelap di dunia saja begini. Pekat di alam yang bisa kita kondisikan saja begini. Kita masih bisa mengeluh, marah, teriak bahkan bersikap semau kita.

Memang gelap tapi kita sebagai manusia punya pilihan. Misalnya kita memakai mesin desel atau membeli lampu otomatis buat mati lampu atau memakai lampu dari tenaga surya. Semua bisa mungkin di dunia ini, terlebih mereka yang punya isi dompet tebal.

Namun di alam sana, di alam yang tak ada tawar menawar. Di alam terputus nafsu dunia, terpisah alam kita. Barzah begitukata yang sering terujar. Kita tak bisa menawar lagi untuk hidup, untuk beraktivitas dan berharap kembali ke bumi.

Kalau karena lampu mati begitu sangat takut, kenapa untuk abadi di alam sana masih juga tidak takut. Buktinya, kita belum sepenuh hati menyiapkan bekalnya. Tabik! [] 

Posting Komentar

0 Komentar