Cuma Heran

Ilustrasi dari Pixabay.com

Tadi siang adik saya dibuat gemas. Pasalnya, ada konsumen yang beli tapi terkesan "protektif banget". Maksudnya, anaknya pengen ini dilarang. Giliran anaknya diam suruh milih, kalau sudah milih, gak boleh lagi.

"Saya mah kalau sama orang begitu suka heran, kak," katanya.

"Emang kenapa?" saya menimpali.

"Lah iya, orang begitu kadang kalau ke Alfa atau indo misalnya, belanja enjoy saja. Anaknya jajan yang harganya bisa dibilang lumayan, masih dibolehkan. Lah, kenapa kalau ke toko kita tak sama?"

"Tak sama gimana?"

"Ya, jajannya harus segini lah. Gak boleh ini lah, gak boleh itu lah. Saya teh heran saja gitu."

"Ya, juga sih."

"Kalau kita bicara perputaran uang, kalau dia beli ke kita artinya uang itu jelas. Toh, kita tetangganya. Diarahkan ke mana dan dialokasikan ke mana. Berbeda kalau ke toko besar begitu, kita memberi manfaat tapi apakah itu membantu perputaran uang ke orang sekitar kita?"

"Maksudnya gimana sih?"

"Begini loh kak, katakan kita mau ada syukuran, itu yang kebagian kan orang sekitar kita. Kita mau membangun rumah misalnya, kemungkinan yang bakal kita suruh siapa. Jadi, untuk hal begini saja begitu apalagi dalam pemaknaan luas."

"Ya juga sih."

"Beberapa waktu lalu kan ada boikot pada produk Israel, ramai. Ada ibu muda begitu semangat bicara, boikot ini, boikot itu. Gak boleh beli ini, terus ini produk sini. Bagus sih, itu kan bentuk simpati atas duka lara saudara kita di Palestina."

"Terus..."

"Apakah ia tak memikirkan, ada berapa juta orang kita yang kerja di sana? Mereka yang mencari rejeki untuk menafkahi keluarganya, kalau tiba-tiba perusahannya failed, bagamana nasibnya? Tapi lucunya, mereka boikot namun rajin mampir ke Alfa dan sejenisnya. Di sana, apakah masih nyaring bicara boikot pas belanja?"

"Paradoks, ya."

"Ya, begitulah."   

Posting Komentar

0 Komentar