Isu sampah masih menggema di ranah maya, dilanjutkan ke aksi nyata di depan kantor pemerintahan Pandeglang. Suara itu masih nyaring, menganulir keputusan untuk bekerja sama dengan pemerintah Tangsel soal sampah. Sampah yang bau itu tak boleh ditampung pung menjejal bumi Pandeglang, apa pun alasannya.
Menampung sampah per hari 300-500 ton itu bukan perkara sepele. Apalagi kita tahu, bagaimana absurd-nya pengeloaan sampah itu sendiri. Sampah yang ada saja menumpuk dan berantakan, kemudian menimbulkan bau yang tak sedap.
Kalau kebijakan ini terus dilanjutkan, tentu kita bisa belajar dari kasus pengelolaan di TPA Bojong Canar yang telah ditutup itu. Dua puluh tahun beroperasi menampung sampah dari 15 kecamatan, tapi sekarang masih menyisakan tanya dan kecewa di lingkungan masyarakat sekitar.
Entah bagaimana kalau TPA Bangkonol menambah volume sampah, sudah dari kota sendiri akan ditambah dengan kota sebelah itu. Cuan yang besar perlu ditimbang pula dengan efek negatif yang bakal dihirup masyarakat sekitar.
Cuan bisa dicari tapi keripuhan warga yang tiap hari bertempur dengan baunya itu sampah perlu juga dipikirkan. Belum kerusakan ekologi juga polusi udara yang menyesakkan dada.
Selama ini sampah di TPA belum maksimal dikelola dan diolah oleh dinas terkait, berbeda kalau sampah itu sudah didaur ulang dengan baik dan tak tercecer. Artinya, masyarakat merasa puas. Bukankah hal polemik ketika mau nyari cuan.
Masalahnya di sini adalah, yang wajib dahulukan baru nyari yang sunah. Jangan main cuan, dahulukan yang memang sudah kewajiban. Dengan respon masyarakat yang begitu masif, apalagi sampah kantor pemerintah di sawer oleh sampah oleh masa demonstrasi, maka pertimbangkan dengan matang.
Kemarahan itu tentu saja bukan tanpa api. Ada asap yang sebelumnya lahir dari provokasi kebijakan yang merasa tidak terwakili. Ada rasa yang dilukai. Oleh karenanya, kapan duduk dan mendudukan masalah sampah ini agar tidak lagi bau? (**)
Pandeglang, 13 Agustus 2025 20.56
0 Komentar
Menyapa Penulis