Pamit Pindah Ngaji

Ilustrasi anak tengah ngaji/Baktinus.id

Kemarin tuh Emak bicara, katanya ada orangtua yang mengaji ke aku pamit, anaknya mau pindah mengaji ke guru yang lain. Anaknya bukan tak lagi betah, tapi pengen ikut sama teman-teman mainnya, bersama ngaji di sana.

Aku tentu saja mengijinkan, tidak ada masalah mau mengaji ke mana saja. Namanya mengaji di mana sama kok, cuma beda metodenya saja. Tujuannya sama, ingin dapat ridha Allah dengan semua ilmu yang dimiliki.

Walau pun kadang sebagai pengajar aku suka berat hati. Berat hati, kenapa harus pindah-pindah tanpa di tempat sebelumnya saja belum maksimal ditempa? Mungkin tak ada masalah kalau pengen pindah tapi sudah tahu huruf, tahu makhroj huruf dan membaca sebagaimana ilmu tajwid.

Sisi lain aku memaklumi, dunia anak adalah dunianya penasaran. Mereka ingin selalu mencicipi yang baru tanpa ribet mempertimbangkan kelanjutannya seperti apa, tapi apa soal cicip dan mencicipi hanya di dunia anak?

Makanya dulu, tiap ada anak-anak pindah mengaji ke aku, hal yang sering aku katakan:

"Mun ngaji ulah sok pipindahan, mun di hiji tempat, di dinya bae sampai bisa. Supaya gera bisa."

Sebab aku tahu, ada beban moral harus aku tanggung dengan bertambahnya orang; dan aku, apa tuh manusia lemah yang masih penuh bayang-bayang dosa. 

Makanya tak sedikit dari mereka kembali lagi ke tempat biasa ngaji. Aku menekankan, ngaji itu bukan soal banyak murid atau sedikit. Bukan soal ajang adu gengsi. Pengajar itu pelanjut estafet ulama, maka mengajar akhlak adalah tujuan utama. Saat keseringan pindah, kembali lagi ke metode baru, mengulang ke awal lagi.

Makin ke sini harus aku akui, banyak muridnya pada pindah, dan orang tua tak sedikit yang izin. Tentu saja aku agak aneh, kalau dulu anaknya ngaji saja gak ada bahasa kok, lah kenapa pas keluar kok izin?

Budaya sekarang memang beda, kalau dulu kalau ngaji biasanya di antar orangtuanya untuk mengantarkan bahasa penyerahan tangung jawab. Kalau anaknya nakal misalnya, maka guru bisa menindaklanjuti. Orangtua tidak marah karena sudah ada perjanjian.

Sekarang lain, kalau mau pindah, ya pindah saja. Sama saja kok. Di sana ngaji, di sini ngaji. Lah ya, soal anak paham sejauh mana, itu urusan nanti. Hampir jarang ada diskusi sama gurunya, sejauh mana pemahaman anaknya dan daya tangkapnya seperti apa.

Perhatian orangtua pada guru ngaji kadang seremonial, ingin anaknya pintar tapi lupa, pintar itu butuh proses dan kerja sama. Transfer ilmu juga soal penafsiran soal hakikat ilmu itu bagaimana? Untuk ujungnya nanti pengalaman itu. Terlihat dari tutur kata dan akhlak hariannya.

Apa itu mudah? 

Ternyata tidak. Oleh karenanya, pada siapa saja, aku selalu senang anak-anak belajar di usia produktifnya. Pada siapa pun mereka belajar, semoga berkah ilmunya dan mudah menangkap pesan kebaikan di dalamnya. Wallahu'alam. (**)

Pandeglang, 13/11/25   13.20

Posting Komentar

0 Komentar