Evaluasi Acara Muludan: Bagimana dan Apa Esensi Mulud?

Saya dibuat bingung akan sikap saya sendiri di masyarakat. Terlalu vokal jadi masalah dan disoroti, diam katanya vakum dan tidak punya ambisi. Sekalinya bicara jadi bahan omongan tak terhingga.

Gara-gara ikut perdebatan di persiapan menjelang muludan. Saya terusik karena opini di bangun tidak sehat, saya sungguh khawatir itu jadi beban untuk masyakarat jelata.

Saya pun memberanikan bicara, tak lain untuk meng-counter tokoh elit di kampung. Lantas omongan saya di dengar, ada pro-kontra di sana. Bagi saya biasa, tapi tidak untuk beberapa orang yang tidak terima dengan ide saya. 

Jadi, ya gitu. Mendiamkan dan mengacuhkan harus saya telan karena berani bicara. Dan konyolnya merapat pada hal lain juga. Menyaksikan hal itu, lama-lama saya jemu. 

Kualitas demokrasi yang mana mereka perjuangkan?

Atau, nilai mana yang mereka harapkan akan sikap baper dan mudah marah saat berdebat?

Padahal mereka wakil dan tumpuan masyarakat. Suara dan keputusannya akan jadi hukum. Menerap dalam aturan. Nama masyarakat jadi jaminan.

Menyaksikan acara Maulid tahun ini pun saya skeptis: apakah para elit kampung saya tahu cara me-manage acara?

Tiap tahun acara muludan selalu amburadul. Apa-apa spontanitas. Akhirnya tak beraturan. Ada yang capek, ada yang biasa saja. Karena kurang di tata itulah, saling marah dan saling emosi.

Entah berapa kali saya kena damprat hanya karena salah memberi besek. Serius jemu. Dengan tagihan uang bayaran lumayan besar. Singkatnya, SDM dan SDA besar tak jadi jaminan sebuah kampung harmoni atau sejahtera. 

Maka, saya sering berpikir begini: Fungsi acara muludan apa? Iya, itu syiar tapi nilai apa yang akan digugu kalau tiap acara terus melahirkan bibit permusuhan. 

Di mana refleksi akhlak Nabi yang katanya itu uswah?

Lalu, kalau demi acara meninggalkan shalat dan hanya berisi aneka konflik horizontal yang samar, pantaskah syiar itu menginjak inti hukum persatuan?

Untuk ke depan saya amat berharap ada pendobrakan manajemen terkait acara besar. Setidaknya saya mencatat, ada cara efektif untuk memperbaiki manajemen yang sudah kusam tersebut. Yaitu:

Pertama, Mengembalikan niat muludan itu untuk apa. 

Jangan sampai kita kehilangan pegangan. Niat awalnya untuk ta'dim pada kelahiran nabi, tapi karena ingin punya nama dan sebutan bagus; niat tulus itu rusak oleh kata ingin.

Panitia acara dibuat repot karena jumlah undangan membludak. Warga dibuat emosi karena tekanan dari panitia yang over. Banyak tamu yang belum kebagian besek. 

Lama-lama bisa hilang esensi muludan untuk apa dan baiknya seperti apa. Muludan hanya jadi ritual tahunan, sedang isi juga gambar jauh dari ideal. Konflik sering terjadi karenanya. Hmm, apa itu makna muludan?

Kedua, penting meminimalisir acara.

Tidak tanggung-tanggung, ada sekitar 30 kampung yang diundang. Tokohnya mungkin sekitar 50 orang. Yang rata-rata warga belum kenal, hanya dikenal oleh sebagian panitia. Apa itu tidak berlebihan?

Saran saya sih, undang saja siapa kampung yang suka mengundang kampung kita. Utamanya tetangga satu desa. Paling banter 10 kampung atau lebih sedikit ya, bisa di atur. 

Untuk masyarakat agar tidak mengundang sanak-keluarga di luar kampung kalau berkatnya mengambil  puny warga. Kalau niat ingin mengundang, maka ia harus tanggung jawab dengan asupan juga berkatnya.

In penting dilakukan agar stabil dan terkontrol jalannya acara. Kita tidak disibukkan dengan hal sepele. Mengundang penceramah pun tak harus yang 'wah', cukup putra daerah. Banyak kok yang bagus-bagus. Selain hemat budget juga mengangkat nama produk daerahnya.

Ketiga, mengelola pontensi muda.

Mengelola di sini, maksudnya mereka di dayaguna juga dirangkul. Di beri ruang bergerak. Berkarya. Esetapet perjuangan harus terus berlanjut. Untuk itu perlu adanya kaderisasi.

Acara tak hanya fokus ke malam, tapi dibuat acara siang. Dari pagi sampai sore kita adakan lomba-lomba. Misalnya, lomba hafal Al-Qur'an terbanyak; lomba sepaket: tiap grup terdiri mc, penceramah, qori, dan sambutan; dan acara lain yang punya bobot nilai.

Sekalipun acara penuh, tapi warga insya Allah puas. Karena ada esensi yang dituju. Tujuannya jelas dan manfaatnya terlihat.

Nantinya, untuk tiap acara tahunan kita punya dinamika. MC dan sambutan selalu berganti-ganti. Para pemuda teratur. Satu sama lain punya militansi. Tidak saling curiga. 

Keempat, perdebatan akut itu hanya seminggu pra acara.

Kenapa itu penting? Bukan masanya lagi menjelang acara harus berdebat. Apalagi menebar cacian juga bau permusuhan. Jiwa raga harus fokus pada acara. Jangan saling jegal.

Penyakit warga, ini seringkali terjadi. Karena tak selesai dalam perdebatan sampai acara akan di mulai. Bukannya fokus yang ada saling curiga. Pada jadinya, acara tak tertata. Bingung kerja dan geraknya bagimana. Wong belum matang, debat belum selesai terus acara bentar lagi di mulai. Ya, repot, kan?

Empat hal di atas hanya asumsi. Tidak mutlak benarnya. Dari pengalaman yang saya pahami dan teliti, ke empat hal itu efektif dan insya allah punya makna lebih. 

Walau bagaimana, penting adanya perombakan manejemen dalam segala lini. Ini tugas kita untuk memastikan jalan acara yang tak hanya ramai, tapi juga berkualitas. 

Demikian, ini evaluasi terkait acara muludan yang saya potret tadi malam dan sebelumnya. Wallahu 'lam. (*)

Pandeglang  |  23 Oktober 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar