Kenapa Harlah Sumpah Pemuda Sunyi?

Tadi malam, saya hadir di musyawarah pembentukan dan pembubaran panitia peringatan maulid di tahun 2020-2021. Acara itu untuk menyampaikan pertanggungjawaban panitia terkait acara yang sudah terjadi.

Harusnya begitu. Dalam prakteknya, hanya berisi perdebatan tanpa makna. Fokusnya bukan evaluasi tapi lebih kepada sensasi. Apa yang diharapkan tak ada. 

Saya bisa mencatat, siapa saja yang bicara di forum itu. Seperti biasa, hanya tokoh tertentu dan itu-itu lagi. Kaum tua dengan nama besarnya selalu ingin unggul dan terdepan. Sedangkan kaum muda, cukup jadi penonton di gelanggang.

Ingatan saya terbang ke masa perjuangan pemuda di tahun 1928, yang sampai mampu membuat kongres dengan poin pentingnya ialah muncul kesepakatan yang sejarah bangsa, kita mengenalnya Sumpah Pemuda.

Tidak mudah pemuda bergerak dengan perlawanan para penjajah, di lain sisi para kaum tua yang takut tersisi. Semangat dan jati diri jadi pertaruhan. Berani bersuara sama saja siap menelan pil pahit. 

Hari ini, kita tinggal menikmati kemerdekaan, tak perlu berdarah-darah mengucap kata merdeka. Tak ada teror. Tak ada ancaman. Kita hanya cukup menikmati, mensyukuri, dan menjaga eksistensi negara yang amat dicintai. 

Akan tetapi momen Sumpah Pemuda tahun ini kok terlihat sepi. Tak terdengar antusiasme. Apalagi karena pandemi atau karena mulai kerontong penghargaan pada esensi peristiwa sejarah itu. 

Ini terdengar klise. Tapi generasi muda harus terus diberi wawasan terkait cerita bangsanya. Tak hanya itu, harus diberi ruang mengembangkan skill-nya. Akan kemana melangkah dan dimana harusnya berada.

Hal tersebut harus bisa didampingi dan dibimbing oleh kaum tua. Lagian kaum tua harus punya generasi pelanjut yang akan meneruskan rekam jejak. Jangan terus merasa kuasa dan seolah akan tetap terjaga.

Momen Sumpah Pemuda diharapkan tak kehilangan esensi. Sebagai anak bangsa kita patut bangga dan terus memperbarui rasa cinta itu. 

Kasus Smack-down di Tangerang terhadap mahasiswa patut jadi renungan. Bangimana suara kritis ingin dibungkam. Sebenarnya, pembungkaman bukan barang baru. Setelah pembaharuan UU ITE, rasanya selalu ada alasan menangkap dan menutup mulut siapa yang lantang meluruskan kebijakan pemerintah.

Aparat sebagai alat negara tak sedikit yang jumawa. Angka kekerasan pada sipil sering kali terdengar. Padahal selayaknya, suara muda yang ingin negaranya baik-baik saja harus diberi ruang berkata, bukan dijegal dengan aneka kelucuan yang vulgar. Selain itu berbahaya untuk kualitas demokrasi kita, juga tak ada guna untuk tiap warga menikmati kebebasannya yang telah dituang di UU bangsanya.

Inilah saat intropeksi menggali makna Sumpah Pemuda seperti apa dan bagusnya bagaimana. Penghormatan pada pendiri bangsa dan pejuangnya tak boleh seremonial belaka. Harus ada yang bisa digali. Ada pula yang bisa digunakan untuk kemaslahatan ummat. 

Pesan itu yang harus terus dibangkitkan. Anak muda jangan kehilangan pegangan. Lupa pada siapa pendahulunya. Sampai kurang ajar atas nikmat merdeka.

Seperti kata pepatah bilang: 'bangsa besar itu mereka yang bisa menghormati sejarah bangsanya. 

Untuk itu, mari tebar rasa damai dan terus rekatkan persatuan. Lawan segala upaya merusak persatuan. Semoga jaya dan makin makmur negara tercinta. Semangat hari sumpah pemuda, maaf terlambat! (*)

Pandeglang,  30 Oktober 2021

Mahyu An-Nafi


Posting Komentar

0 Komentar