Ini Pesan KH. Fathul Adzim di Muludan Pagembrongan

Meski kampunya kecil, Pagembrongan selalu memberi kejutan tiap tahunnya. Anak muda yang kreatif, para tetua yang mengayomi, dan manejemen tertata rapi.

Acara di mulai dengan kumpulan grup qosidah yang digawangi para gadis-gadis imut lagi manis. Setiap lagu menyampaikan puji pada Nabi, dan sesekali menyampaikan nasihat juga mengoreksi laku kita sehari-hari.

Hampir satu jam lebih mengibur jamaah, acara dimulai. 

Jamaah disambut oleh panitia dengan baju seragam dan warna senada. Parasnya berseri dengan jabatan bersahabat. Yang datang dibuat betah, karena di atur sedemikian rupa.

Bagi saya, acara tadi malam itu panggung inspirasi juga kreasi anak muda-mudi Pagembrongan dengan dukungan total para tetua. Terlihat diselipkan acara yang berbau modern. Terlihat mengalir, dan ada pesan tersembunyi bagi siapa yang terjaga melihatnya.

Ada pertanyaan menarik dari pengisi acara tadi malam. Perlu diketahui, narasumber menghadirkan KH. Tubagus  Fathul Adzim bin allahu yarham KH. Tubagus Ahmad Khatib Banten. Putra Pelopor dan Pahlawan sekaligus Ulama besar Banten.  

Tapi tidak sendiri, ditemani kerabatnya yang dengan jiwa kebapakan, menyilahkan lebih dulu kerabatnya untuk ceramah ala kadar. Tentu saja, ini menjadi cermin betapa tawadhu sosok KH. Fathul Adzim. Masih mau mendengarkan dan memberi ruang orang yang dibawahnya.

"Apa sih esensi dari maulid itu?" Seloroh  Ustadz muda yang mengawali ceramah.

Sebuah pertanyaan yang begitu terang dan menohok tentunya. Betapa banyak yang merayakam muludan akan tetapi kehilangan ruh muludan itu sendiri. Untuk apa dan tujuannya kemana tidak tahu arah jelas.

Pada wujudnya hanya hura-hura dan pemer saja. Sedang isi terkelupas oleh rasa bangga diri. Kalimat tanya Ustadz muda itu bagi saya menjebak dan cerdas. Boleh di kata itu ke kritis keras, bagi yang mau menggali dalam apa yang dikatakannya.

Pengisi acara kedua yakni KH. Tubagus Imam. Bahasanya renyah dan mengalir. Joke-jokenya menarik. Kemungkinan beliau sudah biasa naik panggung-turun panggung. 

Beliau mengulik dua ayat: satu ayat di al-insiroh dan kedua ayat di surat ad-duha berikut tafsirnya.

"Ketika tadi Marhaba, ada ilham begitu saja di kepala saya," akunya. "Dua ayat suci yang membayangi alam pikir. Ilham itu suatu pengetahuan yang begitu saja hadir, beda ya dengan hadits. Kalau hadits sudah terhenti, tidak dengan ilham yang akan terus ada."

Jadi bagaimana akhlak Nabi dan kecintaan pada Ummatnya?

Beliau mengutip kisah dari Syaikhul akbar, yakni Imam Ibnu Arabi rahimahullah.

"Ibnu Arabi punya guru yang alim lagi 'alamah. Sanad keguruannya sampai ke empat Ulama ahli tasawuf. Ceritanya, gurunya ini dihina dan dicaci maki oleh orang di depan Ibnu Arabi. Bayangkan, menghina gurunya di depan muridnya sendiri. lin Ibarat, menghina Abuya Dimyati di depan pencintanya. Kira-kira, kumaha respon urang?"

"Marah kan? Jengkelkan? Begitupula Ibnu Arabi. Saking mangkelnya, dijotos mulut orang itu sampai berdarah mulutnya. Lalu, di saat tidurnya, Ibnu Arabi bermimpi bertemu Nabi.

'Hai Arabi, kenapa kamu jotos orang itu?' Kata Nabi di mimpinya.

'Wahai Nabi, dia telah menghina dan mencaci guru saya, sedang guru saya itu orang yang telah mengajarkan risalahmu.'

Dengan wajah sedih nabi berkata, 'Benar Arabi apa yang kamu kata. Tapi, dari sana lisannya juga sering terujar shalawatnya padaku. Maka, mulia siapa antara gurumu dan aku?'

Setelah itu, Ibnu Arabi bangun dan cepat mencari orang yang dijotosnya. Meminta maaf dengan setulusnya. Tanpa di duga, orang itupun menyesali sikapnya dan berguru kepada orang yang dicacinya... masya Allah!

Pesan apa yang kita dapat ambil? 

Bahwa berbeda guru tak harus untuk saling benci. Apalagi berbeda partai dan dukungan sesuatu, jangan alasan tebar permsuhan. Untuk itu, siapa yang membenci ummat Nabi sama saja membenci Nabinya. Nabinya begitu 'nyaah pada kita, nah kita, kenapa begitu jumawa? Sombong tak terkira!?"

Puncaknya, kiai Fathul memaparkan esensi muludan apa saja. Tidak sekedar seremonial belaka. Harus ada arti dalam kehidupan nyata. Bagaimana shalat harus diperbaiki. Tidak hanya sekedar shalat; harus tahu syarat sah apa, sunahnya apa, mubtalatnya apa, dan sunah-sunahnya apa.

Amal ibadah tidak asal dilakukan harus ada fondasi ilmu dalamnya. Karena amal tanpa ilmu itu mardud, katanya. 

Ulama itu, katanya amat cerdas. Mengarang rumus tsulasi mujarod saja ada filosofinya. Beliau jabarkan makna apa di balik itu. Nasoro>doroba>fataha>alima dan seterusnya.

Amat bahagia dan bungah hati saya hadir di muludan Pagembrongan. Banyak hal didapatkan, tak hanya ilmu dan inspirasi, yang pasti berkatnya bikin bahagia! Hehe.

"Nah iye tempo, para sepuh kumpul di jero. Ngilu ngatur, nah di lembur urang kumaha nya?" kata Om, panitia muludan kampung saya, amat skeptis.

Hmm, iya sih, sekarang itu tak jadi ukuran mau kampung gede atau kecil tanpa ada satu kesepakatan ya amburadul. Tanpa persatuan dan jiwa mengayomi mengadakan acara besar itu hanya seremoni. Isi dan esensi hanya bayangan. Hanya capek dan emosi yang terasa.

Kecemasan saya sama dengan si Om bahwa perlu kiranya kita memperbaharui acara muludan di kampung sendiri. Tak hanya ramai, tetapi harus ada makna dan kemajuan. Bagaimana kebangkitan dan kesadaran imani terbangun, aktivitas harian Islami, dan akhlak mirip dipesankan Nabi.

Acara muludan harus jadi mimbar seni seluruh warga. Semua diberi kursi. Anak kecil diberi ruang, remaja dan pemuda juga dirangkul, dan bapak-ibu pun merasa mengeruk maknanya. Bukan dikuasai sedikit elit-elit yang strukturnya beda tapi aslinya wajahnya itu saja.

Yang beda, hanya penceramah dan Qorri-nya saja. Selebihnya begitu terus, sekalinya diberi masukkan pastiemosi dan terus melebarkan api permusuhan. Semua ingin menonjol, lupa bahwa itu amanah dan akan ditanya di akhirat nanti.

Saya bukan tak pernah bergerak, tapi gerak hanya menambah runyamnya suasana. Saya memilih diam dan terus mengasah amunisi. Semua akan ada waktunya. Tetap sabar dan optimis melangkah, itu yang terus saya yakini.

Hari ini saya bukan apa dan siapa-siapa. Tak apa. Wajah yang merendahkan ide saya pun masih melekat di pikiran, siapa saja. Saya tidak benci, menerima setulus hati. Dengan adanya itu, berarti termotivasi bahwa saya belum melakukan apa-apa.

Pesan indah yang saya ambil di acara Muludan itu: tetap semangat!

Cara wanita agar masuk surga, kata Kiai Fathul Adzim mengutif sabda nabi ada empat: solat yang benar, puas yang baik, taat pada suami, dan pandai menjaga aib keluarga.

Untuk remaja dan pemuda/i, rajin mencari ilmu dan berusaha mengamalnya. Selagi muda banyak harapan, gali pesan-pesan Islam. Kobarkan iman di dada.

Untuk Para Bapak, yaitu niatkan mencari rizki itu mendapatkan fadol Allah. Rizki itu gaib, artinya rahasia. Hanya Allah yang tahu. Terus kerja mencari karunia Allah dan jangan lupakan Allah dalam hari yang berat itu. 

Terakhir untuk para Ustadz, hati-hati beramal dengan ilmunya. Hanya pada Allah itu bukan sekedar kata, harus ada aksi nyata.

Demikian ulasan singkat ini, selebihnya wallahu 'alam bissowab. (*)


Pandeglang,  1 November 2021  11:27

Mahyu An-nafi

Posting Komentar

0 Komentar