Arti Sebuah Pemberian Orangtua: Sepeda dan Buah Pengorbanan

Sumber di internet
--
Tak hanya Pak Jokowi yang baik, emak ternyata lebih baik. Buktinya mampu membelikan sepeda pada anaknya. Setingkat dong dengan presiden, luar biasa sekali.

Meskipun secara finance emak menang banyak, karena memakai uang sendiri sedangkan presiden memakai uang negara. Seharusnya bukan hanya satu warga, semua warga wajib dapat. Logikanya kan begitu. Ya sudah lah, itu urusan presiden dan staff-nya. 

Intinya, emak number one! Haha.

Ceritanya kemarin adik saya dibelikan sepeda, kayaknya sih terpaksa itu. Hehe. Huzz, jangan geger-geger, cukup tahu saja.

Lumayan juga harganya. Kualitas sepedanya juga cukup bagus. Dengan harga begitu dimaklumi. Dan keluarlah kocek emak lumayan. Besar untuk kami yang jarang pegang uang besar. Nampak dari wajah berat emak dan aneka pikiran berkecamuk.

Terlepas dari itu, ada banyak hal yang dapat dipahami. 

Pertama, arti pengorbanan. Banyak anak yang tidak peka, betapa selama ini orangtuanya amat berkorban untuk masa depan juga nasib baik anaknya. Rela mengalahkan ego sendiri. Rela juga menahan keinginan. Mudah sekali mengabulkan kenginan anaknya.

Di pihak lain, anak sering lupa cangkang berbuat barbar dan lupa bawangnya. Seolah setelah menjadi bebas melakukan apapun. Tidak peduli tangis pilu sekaligus ratapan menyesakkan jiwa.

"Nah, itu kan kewajiban orangtua. Tugasnya memenuhi keinginan anaknya. Kalau tidak bisa, kerja keraslah. Lihat dong orang lain, bisa kan?!" Nyolot sementara orang yang belum tahu adab.

Padahal aslinya, kalau ia "memaksa" dengan menuduh barbar macam itu, lantas kenapa tidak berpikir balik: "kalo orangtua wajib memenuhi keinginan anaknya, kenapa anak tidak balik memahami keadaan orangtuanya?"

Berpikir begini kan seimbang, karena fenomena demikian banyak terjadi. Sialnya saya sering melihat dengan mata telanjang. Astagfirullah..., nyesek tahu!

Kedua, setelah keinginan dituruti seharusnya anak punya skala prioritas jelas: bagaimana dan kemana langkahnya. Tidak lagi ragu dan sibuk memilih jalan. Karena dari hal terjadi telah belajar banyak.

Lagi-lagi, di aktivitas harian banyak pula yang belum paham. Setelah orangtua memenuhi, anak lepas landas dengan gagasan selanjutnya. Akhirnya semua runtuh karena lupa jalan dan lalai akan prinsip.

Tentu ini masuk paradoks sosial yang perlu dibenahi. Tak hanya bagi anak, orangtua pun harus ikut juga membenahi. Kalau keinginan anak bisa membantu lagi bermanfaat, tak salahnya dituruti dengan bimbingan kasihnya.

Kalau dirasa tak punya esensi, ya sudah abaika. Ada banyak hal perlu dilakukan. Mengintensipkan biaya juga pengeluran cara hemat cerdas tentunya.

Yang pasti, tulisan ini hanya memotret realitas sosial bukan meyinggung siapa yang merasa. Perbaikan perlu dan itu bisa dimulai dari diri sendiri. Wallahu a'lam. (*)

Pandeglang |   15 Desember 2021

Posting Komentar

0 Komentar