Pengalaman Ziarah Kemarin Ke Caringin yang Agak Emosional

dokumen pribadi


Berangkat di jam 08.00 dari rumah langsung ke Caringin Labuan. Rencana awal akan ziarah dulu ke Syaikh Qolyubi Magribi sebagai pembuka pemberangkatan. Namun mengingat awal sumpah nenek akan ke Caringin, ya itu yang didahulukan.

Perjalanan sendiri menggunakan mobil pick-up atau losbak. Jamaah terdiri dari Emak, bapak, aku dan saudara lainnya. Tidak terlalu banyak, yang pengen ikut banyak tapi karena ingin aksren. Cukup segini aja. Tenang karena niat awal adalah untuk rihlah berikut ziarah.

Sepanjang jalan dari jalan Karang tanjung sampai  ke Kadu Hejo, lalu lintas lancar. Tetapi setelah sampai menuju Mandalawangi terasa beban di mobil. Lalu lintas pun cukup ramai.  

Aku melihat jalan yang cukup bagus dengan pesawahan dan suasana pegunungan terasa memeluk jiwa. Sempat juga melihat rumah dari Angling Dharma, sosok yang sempat viral di tahun kemarin. Ada yang menuduh sesat pula. Tadinya aku tidak ngeh, kalau itu rumah dari sosok yang viral itru. Kirain hanya komunitas atau LSM baru yang sekarang tengah marak ternyata salah.


Aku berbincang dengan adikku, Hasyim, kalau si Merah dibawa ke sini bisa jadi dia batuk-batuk. Maklum usia yang tidak lagi muda dan pergantian onderdil yang belum paripurna dilakukan. Jalur yang terus menanjak memang jadi ketakutan sekaligus tantangan. Arus sungai memanjang mengelilingi arus terjal, sebagian terjaga dengan baik. Terlihat sungai bersih dan mengalir indah. Ada juga yang tidak terawat. terlihat banyak sampah rumah tangga sehingga membuat laju air terngganggu.

Di Pasar Pari tengah ada perbaikan jalan sehingga penegendara harus berjalan bergiliran. Tidak jauh dari sana ada Ponpes modern, itulah Dar Al-Falah. Bangunannya tidak terlalu mewah, lumayan luas dan lebar. Hanya saja terlihat kurang terawat, agak kusam kondisi bangunanya.

Sebenarnya aku sudah lama tahu Dar Al-Falah, kebetulan alumninya pernah ngobrol bagaimana aktivitas di dalam sana. Seperti apa gambaran jelasnya. Cuma kata adikku, pemimpin pondoknya itu Kanda--- istilah sapaan akrab untuk Keluarga Besar PII (KB-PII). 

Dalam hati aku berujar, 'bagus itu, jadi bisa membemver paham-paham yang kini jadi perbincangan kalangan aktivis dakwah.'

Dewasa ini menjamur kembali paham-paham lama yang sudah mulai usang, mereka yang doyan bicara bid'ah dan tuduh sesat sana-sini tanpa meminta klarifikasi dan bersikap bijak melihat perebedaan sehingga tak jarang mengarah pada konflik. Ini sungguh mengkhawatirkan juga mencemaskan. Kenapa aku katakan usang? karena paham ini menurut sejaarahnya sudah ada di abad 18. Bisa jadi saat di mana Syaikh Asnawi masih hidup pemikiran itu tengah bergejolak di bumi penuh berkah sana.

Tanjakkan Banganga di antara jalan yang sering jadi perhatian. Kalau tengah turun mungkin tidak terasa tapi pas menanjak ini yang cukup horor. Dengan jalan yang tidak sedikit bolong juga kendaraan cukup ramai. 

Di pasar Pari akupun melihat juga memperhatikan keadaannya tidak jauh beda dengan pasar Pandeglang. Banyak toko yang tutup juga antusiasme pembeli yang biasa. Banyak penjual yang asyik nongkrong. Daya beli efek kebijakan ekonomi pemerintah nampaknya merata ke segala daerah. Kabarnya di ibukota besar pun tidak jauh beda.

Dari pasar Pari terus ke Jiput terus sampai ke Labuan, tepatnya ke Caringin. Akses jalannya bagus dan ramai, saat di perempatan menuju Caringin tengah ada perbaikan. Tapi tidak terlalu mengganggu. Tidak jauh dari sana telah di bangun arena bermain dan berenang.

Entah lupa atau gimana sopir nyelonong melewati gapura menuju maqam Syaikh Asnawi, padahal jelas di sana terlihat tulisan Makam Aulia Syaikh Asnawi Caringin. Aku juga sempat bertanya ke bapak, kok lewat atau mungkin kataku ini sengaja untuk menuju jalan lain. Ya sudah, aku diam saja menyaksikan kondisi dan bangunan di kota wisata religi ini dan benar saja sopir lupa makanya lewat saja. Aku hanya tersenyum.

Caringin sekarang penuh dengan bangunan-bangunan cukup megah. Toko-toko menjamur di segala lini. Efek globalisasi merayap ke segala lini. Nampak aktivits penduduk terlihat. Di antara yang membuatku bangga adalah betapa di sepanjang terlihat wanita berhijab cukup rapi. Segini masih di daerah sendiri ya, entah bagaimana melihat saudara di daerah atau negara lain seagama terus taat pada agamanya. Betapa bangga  dan melegakan hati. Ini lah buah dari ikhtiar para pendakwah yang tidak lelah menyampaikan risalah yang baginda nabi muhammad saw. bawa 14 abad yang lalu.

Masuk ke pelataran kita menyaksikan kondisi jalan yang kurang terawat dan tak jauh di sana kita disodori ongkos parkir seharga Rp. 20.000 untuk mobil pick up, entah bus atau kendaraan beroda dua berapa. Ruang parkirnya cukup luas dengan para pedagang yang hilir mudik. Para pedagang makanan ringannya terlalu ramah  jadinya sedikit memaksa. Walau sudah beberapa kali ditolak tetap saja ditawar.

Posisi maqam tidak terlihat karena penuh oleh bangunan atau warung pedagang yang memenuhi parkiran. Di kiri kanan terlihat tulisan Wc umum dan Musolah. Aku tadinya tidak tahu, apa itu berbayar atau tidak soalnya tidak ada tulisan yang menerangkan dan ternyata semua harus berbayar.

Cuaca amat panas sepanjang perjalanan terbakar sinar matahari apalagi di parkiran yang amat dengan laut lepas menambah cuaca terasa makin memanggang. Kami berserta rombongan langsung ke menuju pusara Syaikh Asnawi. Yang bikin resah adalah sepanjang menuju ke maqam tidak sedikit para ibu-bapak meminta infaq-sedekah, bahkan ada yang sedikit memaksa. 

Saat masuk ke maqam pun, masih juga ada petugas yang setengah memaksa menyimpan sandal di tempat tertentu yang nantinya akan dipinta uang. Saat masuk pun kuncen meminta sumbangan untuk acara khaul Syaikh nanti, aku kira untuk pembangunan yang tengah berlangsung ternyata bukan.

Kami digiring lantas ia menyampaikan permohonan. Ah, ada-ada saja. Kenyamanan terasa dicoret di muka. Di dalam yang zarah sepi, penziarah datang pergi. Posisi maqam sendiri ada di dalam ruang, ya sejenis majlis atau musola gitu. Kuburan Syaikh amat sederhana, menyendiri dengan kuburan lain. Kurang lebih 20  menit di sana silsilah. 

Bangunan yang tua, gelap dan terkesan kurang terawat. Petugas yang hilir mudik cukup banyak tapi nampak acuh tak acuh. Fokusnya pada infaq yang dipinta pada jamaah penzarah. Kalau tidak diberi terlihat wajah masam terlihat. Di sekitar luar banguan maqam pun sampah berserakan, debu-debu berterbangan, para pedagang tengah asyik mengobrol. Entah sering dibersihkan atau memang jarang dibersihkan. Wallahu'alam.


Pas kembali bisa ditebak penjaga koropak menggebu-gebuk atau menyodorkan keropak untuk diisi, kalau diberi mengucapkan syukur kalau tidak yang bisa ditebak sendiri. Aku dengar, banyak penzarah lain yang ngomel lirih dengan temannya terkait ketidaknyamanan para penunggu koropak infaq itu. Kami dan rombongan pun iya juga sih, tempat suci harus dicoreng oleh oknum-oknum yang berkeliaran di sana-sana. Coba, gimana mau mendapatkan pengalaman berkesan kalau gitu?

Selepas zarah nongkrong dulu di dekat pantai, nampak saung penuh orang. Namun ada yang mengganggu penciuman tak lain karena sampah yang beserakan. Menumpuk di beberapa tempat. Tidak hanya itu penjaja jualan pun menawarkan dagangan pun agak memaksa, kadang buat jengkel juga. Untuk sampai ke dekat pantas harus pula dipungut biaya. Alamak, tempat zarah apa rekreasi ini!

Kebetulan rombongan pada bawa bekal dari rumah, niatnya pengen makan bareng gitu. Tapi ya itu, cari tempat sana-sini kurang nyaman dan kurang sreg. Ada tempat sepi, ya itulah di belakang berjejer saung-saung. 

Di sanalah kami rombongan makan. Ah betapa menyebalkan, pas makan jua para penjaja makanan terus menawarkan daganganya dengan cukup memaksa, belumn ada pangamen dan ternyata tempat yang kami anggap gratis itu harus berbayar pula. Itu pun diteriaki oleh mamah muda setempat seolah kami akan kabur tak mau bayar, padahal kami tidak tahu itu bayar karena memang di sana tidak terlihat tulisan yang memberitahukan kalau harus bayar kalau duduk. Tahu gitu, mending milih yang ada tikarnya aja, ah betapa mengenaskan hari ini!

Sepanjang perjalanan pulang anganku terbang pada kondisi dan keadaan tadi betapa penziarah direpotkan oleh para penjaja dan oknum yang begitu banyak. Alih-alih mendapatkan buah manis, syukur-syukur semangat setelah menghayati teladan dari masa hidup Syaikh Asnawi Caringin, yang ada adalah jengkel belaka. Mungkin ini dirasakan oleh rombongan kami saja kali yang memang isi dompetnya amat kering, lain halnya bagi mereka yang berdompet tebal santai saja. 

Tapi mirisnya, apa zarah itu jadi ajang nunjukkan kekayaan? Terus apa hanya untuk orang punya saja? Aku jadi berpikir, apa tempat penziarahan ini lepas dari perhatian aparat setempat atau dalam hal ini pemerintah kabupaten Pandeglang? Apa lokasi ini masuk ke wilayah pengawasan, dalam artian memiliki wewenang untuk mengelola atau murni dikelola oleh keluarga Syaikh beserta warga setempat sehingga terkait ketidaknyaman juga bangunan tidak terawat tidak punya andil apapun. 

Aku jadi ingat pembicaraan dengan si Uda yang tetangganya seorang pejabat di pendopo Pandeglang akan ke Padang, katanya ingin study banding terkait keadaan penziarah di sana. Kira-kira adakah yang bisa diterapkan di bumi seribu kiai dan sejuta santri ini.

Setelah dianalisa, di sana ternyata kalau kita ziarah itu enak banget. Pakirannya luas lagi asri dan tidak dipungut biaya. Tidak ada pengemis, koropak pun tidak ada yang menunggui, lantai yang bersih dan suasana yang meneduhkan. Pokoknya buat siapa betah lama-lama untuk berada di sana.

Kabarnya, hasil study itu akan coba diterapkan di wilayah Pandeglang demi kenyamanan dan ketenangan. Hal itu misalnya bisa kamu rasakan kalau ziarah ke maqam Abuya Dimyati Cidahu, Cadasari di Pandeglang. Di sana untuk parkir gratis dan insya allah aman. Ke WC atau musola gratis dan cukup terawat. Kita sama akan ditawari oleh para pedagang tapi ala kadar doang tidak sama sekali ada pemaksaan. Di Caringin lagi, apa-apa terkesan dipaksa dan serba uang, lama-lama kita dibuat keki. Semoga ini cepat dibenahi demi kenyamanan bersama.

Aku tidak habis pikir kalau sekiranya Syaikh Asnawi hidup dan menyaksikan secara langsung atas ulah oknum di sekitar makamnya mungkin lagi mereka akan damprat keras, "bisa-bisanya kalian menumpuk harta dengan menjual nama besar-ku!"

Ini ziarah perdanaku ke makam Syaikh, biasanya sebatas membaca silsilah saja atau membaca sepakterjangnya di buku sejarah. Dari buku sejarah aku tahu bahwa Syaikh Asnawi Caringin ini mertua dari KH. Tubagus Ahmad Khotib Banten. Di zaman pergerakan dulu, tepatnya tahun 1926 Syaikh pernah terlibat dengan pemberontakan PKI.

Syaikh Asnawi terbawa oleh mantunya masuk ke PKI. Pikirnya PKI itu anak atau sama dengan Syarikat Islam. Padahal PKI beraliran kiri walaupun anggota pertamanya berasal dari elit SI kala itu. Itulah awal komunis bercokol di bumi nusantara. Walaupun banyak yang bilang PKI dulu berbeda dengan PKI Aidit tetap saja itu hanya alibi. Niat dan tujuannya tidak jauh beda. Sepintar apapun mengeles sejarah tidak lupa mencatat fakta-faktanya.

Masa hidup Syaikh juga pernah bersinggungan dengan meletusnya gununng Krakatau yang menyebabkan tsunami di seitar Selat Sunda. Ledakannya dan kabutnya membumbung sampai ke Eropa. Kabarnya itu termasuk ledakan terbesar kedua di dunia. Terjadi sekitar tahun 1880-an.

Syaikh kala bersama masyarakat harus mengisolasikan diri ke gunung terdekat. Setelah itu aktivitasnya memfokuskan mendidik santri yang bermukim di pondoknya. Beliau tercatat sebagai musryid dari tarikat Qodariyah Naqsabandiyah. Sumber ini aku ambil dari buku Api Sejarah karangan Prof. Dr. Ahmad Surya Negara.

Demikianlah catataan ini, semoga kita mampu mengurai sejarah dan mampu menangkap esensi penting dari peristiwa itu untuk kita tanam dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu'alam. (***)

Ini di antara dokumentasi kemarin


Pandeglang, 8/11/2022

 

Posting Komentar

0 Komentar