Kelas Menulis Rumah Dunia Minggu ke-5 di Isi Mas Toto ST


Kelas Menulis Rumah Dunia ke-5 di Isi Mas Toto
__
Menulis itu gampang, katanya. Apalagi buat esai, mudah. Semudah kalian makan baso, tinggal huap, langsung maknyus!

Mas Toto itu termasuk pendiri Rumah Dunia. Gayanya cukup stylish, santai dan tenang. Setenang telaga yang tak tersentuh keserakahan tangan-tangan jail.


Kata Mas Toto, menulis harus bebas. Tidak perlu menyertakan sumber data. Tidak memerlukan argumentasi kaku. Biarkan mengalir saja. Esai itu termasuk ke karya sastra, tetapi memilliki keunikan. Karya sastra sendiri terbagi dua; puisi dan prosa.


Ada cara mudah kita membaca esai yang bagus itu, cukup dibaca lead-nya. Pembaca yang ahli akan tahu apa maksud penulisnya. Lead ini tidak harus banyak, cukup beberapa kalimat. Tetapi mewakili seluruh isinya. Jangan lupa, judul harus menarik!


Setiap penulis memiliki gaya kepenulisan tersendiri. Untuk itu, orang tertentu kadang tahu siapa penulisnya hanya melihat style tulisannya. Ini yang dinamakan corak atau tabiat. Seperti yang dikatakan Goenawan Mohammad, "Setiap penulis yang baik dia mampu menulis esai dengan baik.". Singkatnya, esai itu barometer  kepakarannya penulis.

Penulis itu mereka yang tahu apa arti tulisannya dan paham dengan tulisannya. Tidak berhak menulis mereka yang tidak tahu apa-apa. Apa yang mau ditulis kalau tidak tahu apa-apa.

Keseruan kelas pun ditambah dengan adanya Kang Agung; Kocak dan gokil. Tidak hanya Mas Toto dibuat tersenyum, kami pun mesem dibuatnya. Kang Agung Gumelar itu relawan juga. 

Saya pun sempat bertanya dua hal; pertama, apakah dalam membuat esai itu ada batas kata. Kedua, apa esai itu hanya bebas, tidakkah ada esai ilmiah? Dua hal itu ditanyakan karena saya masih belum paham.

Setahu saya esai itu paling maksimal kata 1000. Tidak hanya 4-5 paragraf. Sewaktu mengikuti lomba esai di UIN Hasanudin Banten kebetulan di sana disampaikan esai ilmiah. Di beberapa situs berita pun kurang lebih sama maupun di Mojok.co, Detik, Voxpop dan senarai tulisan Emha Ainun Nadjib.

Dari sini seolah ada kontradiktif atas pernyataan Mas Toto. Dengan penuh wibawa beliau memaparkan alasan kenapa meminta 4-5 paragraf. Secara teori memang tidak ada. Tapi tiga hal ini bisa jadi renungan,

1). Pemula. Namanya pula harus dikenalkan dulu. Namanya perkenalan jangan banyak-banyak. Sedikit itu menarik. Asal jelas, padat, dan ringkas.

2). Agar terhindar dari merasa besar sendiri. Kadang orang tertentu agar terlihat bagus "memboroskan kata". Merasa paling bisa dan mapan. Gak ada jaminan banyak kata itu baik. Apalagi tren anak sekarang serba spontanitas.

3). Agar masuk ke pokok bahasan. 4-5 paragraf itu cukup. Paragraf pertama pokok/lead. Paragraf kedua penjelasan atas paragraf pertama. Paragraf ketiga tanggungjawab atas isu di paragraf ke satu atau keseluruhan. Paragraf ke-empat kesimpulan.

Dari pertemuan tadi tulisan esai saya pun babak belur, sama sih yang lainnya pun. Ada banyak coretan yang harus diperhatikan, diperbaiki dan diteliti. 

"Apa ini karya, gak baca aturan apa," kata Mas Toto lantas membuang tulisan saya belakang. Banyak mata melihatnya tapi sudah. Perhatikan aturan katanya.

Sudah segini dulu ya. (**)


Posting Komentar

0 Komentar