Seni Berdamai dengan Masalah

Keindahan kupu-kupu adalah proses berdamai dan bersabar. (Sumber: Pixabay. Com)

Hey kamu, bisa temani aku, aku butuh teman untuk bicara. Kamu gak usah bicara biar aku saja. Cukup dengarkan ya. Makasih sebelumnya.

Curhat dong?!

Begini. Aku merasa jengkel kepada diriku, entah kenapa aku merasa belum maksimal melakukan sesuatu. Kamu pernah merasakannya kah?

Jiwaku butuh pemberontakan karena terus memberontak. Ada hal kosong di jiwaku, hariku dan caraku melihat persoalan. Aku butuh perhatian dan itu diharap dari siapa dan apa yang aku sayang. Aku ingin tahu banyak hal meskipun hal itu tidak melulu berefek positif ke diriku. 

Aku merasa loyo membaca, aku merasa lelah dan merasa penasaran sendiri dengan diriku. Hariku habis bukan membela idealisme yang aku bangun, aku seperti terjebak di satu perasaan yang menjajah.

Aku condong kepada satu hati tetapi hati itu belum membuatku terpuaskan. Aku merasa belum mantap meski itu terus aku bangun, ada saja hal yang buatku gagal memahami. Aku pun kebingungan antara memahami inginku dan inginnya. Kejengkelan kerap terasa. Sedikit tersiksa.

Kala orang sudah fokus memikirkan gagasan hebat dan upaya mengalami mencapai mimpinya, aku masih ditahap mengurusi perasaan melulu. Jengkel dengan diriku, sampai kapan serius mengejar apa yang harus aku kejar?

Di tulisan ini, aku tidak sedang menyalahkan siapapun termasuk seseorang nun jauh di sana. Aku tengah berpikir dan merenung seperti yang di katakan orang bijak,

"Yang membuat kamu terluka dan tidak bahagia adalah dirimu sendiri".

Kok bisa? Tentu bisa, karena kamu membuka dirimu dan membolehkan jiwamu tidak bahagia. Coba kalau tidak kamu biarkan maka tidak akan terjadi apa-apa.

Contohnya adalah rumah. Kalau ingin dalam rumahmu baik dan nyaman harus sering dirawat. Kalau kamu ingin dalam rumahmu bagus dan nyaman, tapi tak pernah kamu rawat, jangan salahkan debu dari luar yang terbawa angin. Salahkan dirimu yang malas membersihkan dalam rumahmu.

Jiwa pun begitu. Ketika kamu sering merasa tersakiti, terluka dan merasa paling menderita dibanding orang lain, ora kesusu menyalahkan orang lain. Raba hatimu. Renungkan jiwamu. 

Kenapa aku kok mau terluka? Kenapa aku merasa tersakiti? Kenapa aku merasa paling menderita? Bukankah saat kamu "merasa itu" secara tidak langsung mengijinkan dirimu terluka. Andai kamu tolak dan menyikapi biasa saja mungkin akan biasa saja.

Ini yang dinamakan seni berdamai dengan masalah. Itu lah kenapa sosok manusia agung seperti nabi Muhammad saw. bisa legowo dicaci dan penuh kasih pada orang yang sangat membencinya. Bukan nabi tidak punya hati, tetapi hati dan jiwa nabi lebih besar dari sekedar cacian.

Itu pula jiwa yang tumbuh di jiwa Mahtma Mahatma Gandhi, Ibunda Theresa, Bung Karno, Buya Hamka, Gus Dur, M. Natsir dan nama-nama lain yang "lebih suka memberi" daripada "menerima" apa yang buat mereka bahagia.

Sayangnya aku dan kebanyakan kita lebih suka "menyalahkan yang membuat terluka" atau "mencari kambing yang tidak hitam" daripada mencari dan memperbaiki sikap diri yang membiarkan "mau terluka" oleh faktor dari luar sedang faktor dari dalam tidak digubris.

Oleh karena itu, tulisan ini wasilah untukku belajar arti kedewasaan. Karena dewasa adalah proses kita bersikap agar matang.  Seperti indahnya kupu-kupu adalah proses dari ulat, kepompong dan kesabaran menunggu waktu. Jadi, dewasa bukan soal usia dan wajah saja. Oleh karenanya, apa yang ingin kamu renungkan hari ini? (**)

Pandeglang, 9 September 2023    11.03

Posting Komentar

2 Komentar

  1. masyaa Allah bener setuju sekali yg membuat terluka dan tdk bahagia adalah diri sendiri,diri sendiri yg selalu berharap sm mahkluk ( udh tahu berharap sm mahkluk adalah luka yg di sengaja...nuhun penulis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya makasih, semoga cepat sembuh Kaka.🙏🙏

      Hapus

Menyapa Penulis