Menghilangkan "Mungkin" dalam Berkata Serius

Ilustrasi keraguan terakumulasi ke kata "mungkin". (Sumber Pixabay)

Mungkin itu kalimat yang tak pasti. Bisa terjadi juga belum tentu terjadi. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, apa di tahap itu terus. Bisa jadi sudah mau melangkah dengan rentetan keraguan. Kata mungkin menjadi gacon.

Oleh karenanya, pantaskah kata "mungkin" digunakan? Tergantung persepektif juga, walaupun di saat tertentu butuh perhatian. Misalnya, ada yang bilang, "Aku mungkin akan berubah, tetapi butuh waktu kan. Aku mohon kamu memahaminya."

Kalimat di atas bagiku masih multitafsir. Mari kita perhatikan: Aku "mungkin" akan berubah, tetapi butuh waktu. Aku mohon kamu memahminya.

Di kalimat itu ada kata mungkin yang bisa kita pahami, aku mungkin akan berubah artinya dia masih ragu untuk berubah. Berubah di sini bisa soal mental, komitmen atau hal apa saja. Seolah dia memberi penawaran tapi masih bingung mau dijual atau tidak.

Kerancuan ditambah di akhir ucapan itu ada sepenggal kata, 'aku mohon mau memahaminya". Ini aneh kalau di awal saja masih ragu dan cemas sendiri, lah kok mau dipahami. Sikapnya saja masih ragu kok ingin dimaklumi.

Hal ini seperti Anda ingin terus dipahami tapi tak mau memahami, giliran ditegur bukan sadar malah balik emosi. Aneh dong. Di mana-mana ada proses timbal balik, gak bisa berat sebelah. Beralasan, "kurang apa lagi aku?" Lah, kurangnya itu tidak mau merenungkan sikap sendiri. Hihi.

Kata mungkin harus hati-hati juga digunakan hal yang sensitif apalagi hal yang sakral, misalnya, "Apa kamu sayang ke aku?" 

Lantas di jawab, "Ya, mungkin sayang." 

Terus dijawab, "kok mungkin sayang?" 

"Ya aku gak tahu."

Lucu loh, Anda ingin dicintai tapi ragu dengan perasaan sendiri. Untuk itu, kalau masih ragu yang jawab saja, tidak mau. Kalau mau, jawab sejujurnya. Utarakan alasannya apa dan seperti apa. Jangan menggantung perasaan.

Terkecuali untuk hal yang sifatnya abstrak, boleh lah. Misalnya, "Kamu suka basonya apa penjualnya," kata teman kamu.

"Ya, mungkin bisa baso, penjual atau keduanya."

"Loh, kok jawabnya pake mungkin?"

"Atuh ya, kan baso ini kamu yang memberi dan saya gak kenal penjualannya. Ini baso bagi saya gratis tapi juga nikmat. Paham?"

"Enggak."

"Ya Allah. Ya aku gak kenal penjualnya, misalnya dia jodohku mana mungkinkan? Atau aku hanya suka sama rasa basonya yang maknyus, tapi sama penjualnya biasa saja. Semua masih kemungkinan dong, takdir Allah siapa yang tahu?"

"Eh, iya sih. Kok aku gak sejauh itu ya memahaminya."

"Hihi. Makanya jangan mulu menonton gosip terkini saja, seringlah baca buku dan hal yang berbau keilmuan. Itu yang menuntun pada hal lebih kompeks."

"Hem, ya sih."

"Ya sudah."

"Ya, mungkin."

"Mungkin apa? Sudah pergi dari sini tanggung ini baso mau ditandaskan."

"Ya, nanti ada penjualnya."

"Maksudnya?"

"Aku belum bayar semuanya, mungkin akan minta ke kamu."

"Ihh, aku kira gratis! Semprul dasar!!!"

Begitulah, mungkin adalah kata. Harus dipahami cocoknya di mana. Apa di hatimu atau di hati mereka, ini kemungkin siapa yang mau mikir. Satu lagi, tulisan ini tidak mau dan mungkin ditujukan pada satu orang saja, karena yang nulis satu orang. (***)

Pandeglang,  6 September 2023   21.47

Posting Komentar

0 Komentar