Catatan di Detik Akhir 2023 Detik Awal 2024 Rumah Dunia


Awal dan Akhir Acara 

Di awal tahun ini saya bermalam di Rumah Dunia. Rumah Dunia tengah mengadakan acara "Detik Akhir 2023, Detik Awal 2024" di aula teater terbuka. Saya sengaja menyempatkan hadir, lebih kepada ingin melihat seperti apa pegiat literasi "menyambut" detik-detik bergantinya tahun.

Sebagai orang yang hidup di lingkungan--bisa dikatakn santri sentris, acara tahun baru lebih dititikberatkan kepada renungan. Merenungkan apa yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan dan memperbaiki kesalahan yang terjadi. Dengan melihat langsung ke Rumah Dunia, sebenarnya upaya saya "aku melihat" bukan lagi "apa katanya" yang bisa simpang-siur.

Acara sendiri dikatakan seru ya. Ada pencak silat dari Teh Alma--- alumni KMRD, ada Sefitra dan boneka nya yang buat ketawa sekaligus mikir. Gimana gak mikir, boneka seperti itu bisa bicara ceplas-ceplos juga menggemaskan. Sesekali agak bikin gregetan sih dan menghibur pastinya.

Ada pula Orasi Budaya oleh Mas Bewok. Saya sendiri kurang tahu, siapa Masa Bewok tapi sekilas yang saya dengarkan PNS dan peduli terhadap kebudayaan. Di acara kemarin malam itu beliau memaparkan tantangan ke depan ummat manusia, dalam hal ini robot dan teknologi menguasai dunia.

Di Cina misalnya, hampir taksi itu tidak ada sopirnya. Bisa terbang pula. Jasa mengetik kemungkinan bakal hilang. Melukis pun kini sudah tersedia aplikasi khusus, kita tinggal menyebut karakter atau ciri sesuatunya maka beberapa menit akan terlihat hasilnya.

Mas Bewok mencontohkan, kalau ingin melukis dirinya maka cukup kita menyebut laki-laki usia 50-an, berjanggut, tinggi sekian dan lain-lainnya. Tak lama akan terlihat hasilnya. Singkatnya, teknologi memberi kemudahan dan di saat yang sama memberi kesulitan.

Ingat Mas Bewok, ingat pula saya dengan Tere Liye. Baik di novel Hujan, novel serial Bumi, Matahri dan seterusnya; di sana dipaparkan jelas oleh Tere Liye. Misalnya di "negara langit" desainer tidak ada, ketika kita ingin baju baru cukup kita membayangkan saja baju yang kita inginkan maka tak lama akan berubah sesuai keinginan kita.

Di novel Hujan lain lagi, membuat kue tidak harus sulit. Cukup kita tuliskan mau buat kue apa, takaran bahan-bahannya berapa dan tunggu beberapa menit sudah tersedia apa yang kita inginkan. Tentu saja, masih banyak lagi.

Hanya saja ada sedikit perbedaan, pemaparan Mas Bewok lebih menggebu memantik kita agar lebih akrab dan lekat dengan aktivitas teknologi. Tidak hanya menajadi penonton, tetapi pemain di industri start up misalnya, yang belakang terus berkembang. Kita tak hanya menjadi pangsa pasar tetapi menciptakan pasar untuk diri kita.

Sedangkan Tere Liye mengajak kita lebih realistis ke kemajuan teknologi informasi. Kita memang melihat sisi positifnya luar biasa, tetap sisi kemanusiaan kita di saat yangs sama mulai terkikis. Hal-hal yang dulu biasa saja, kini rasanya begitu menjadi hal yang luar biasa. Misalnya, kemajuan teknologi sering membuat kita "lupa bersyukur". Kita tiap kesempatan gontai-ganti produk tertentu hingga lupa sensasi menikmatinya, bukan sekedar berburu lantas tak mengenal kepuasannya.   

Acara Bincang-bincang diisi oleh Naufal dan Muhammad Irsyad. Bincang itu sendiri membicarakan bagaimana keadaan di Timur Indonesia, lebih jelasnya melihat Banten di timur sana. Bagaimana keadaan ekonomi, sosial dan politik yang perlu diperbaiki.

Soal pendidikan pun ada banyak persoalan. Misalnya keadaan sarana prasarana yang kurang layak. Pemeratan pendidikan bisa menjadi solusi agar diperhitungkan oleh Pak Nadiem dan elit Jakarta. Ketimpangan itu jangan sampai memperkeruh kualitas produksi pendidikan di ujung Indonesia sana.

Muhammad Arsayd lain lagi. Ia yang didaulat sebagai guru teladan se-nusantara memaparkan bagaimana keadaan literasi di NTT. Akses perpustakaan sekolah yang kurang mumpuni, juga kekurangan SDM. Banyak kepala sekolah misalnya hanya lulusan SMA, barangkali ini mempengaruhi pola didik dan perkembangan intelektual siswa. Bisa  karena kekurangan pengalaman. Terkait minat anak didik cukup tinggi.

Di detik akhir sendiri ditutup doa. Dan saya disodori untuk membaca doa walau inginnya menjadi penonton saja. Tak apalah. Hitung-hitung belajar. Sengaja saya mengutip doa dari laman yang sumbernya NU online. Selebihnya saya tambahkan agar lebih komplit. Setelah itu, selesailah acara.

Diksusi-Diksusi Tak Langsung

 > Bersama Naufal dan Sejo

Kang Naufal bercerita tentang pengalamannya di Gorontalo. Katanya, tingkata keamanan di sana itu tinggi. Angka kriminalitas rendah. Wajar kemudian Gorontalo masuk sebagai wilayah yang masyarakatnya paling bahagia di Indonesia. Indikatornya adalah angka kriminalitas.

Kenapa ini terjadi? Sebab di sana, ada semacam mitos yang diyakini, jika anggota masyarakat ketahuan mencuri maka akan mendapatkan celaka atau kutukan. Hal ini berefek pada "kesadaran", sekalipun kita parkir motor di depan rumah dengan kunci yang masih menggantung, bisa dipastikan keamanannya.

Lantas bagaimana Banten, terutama Pandeglang yang masih termasuk daerah yang kurang bahagia dan pendapatan kecil pula. Apa indikatornya? Bang Sejo melihat dari ekonominya lemah, karena bagaimanapun ekonomi dasar memakmurkan rakyatnya. Lowongan pekerjaan dan kesempatan kerja yang kecil. Kang Naufal berbeda, mungkin karena kurang memaksimalkan potensi wisatanya. Jalan  wisata yang kurang ramah dan lainnya. 

Hemat saya sih, karena mental warganya lemah dan pemerintah tidak punya jembatan untuk lebih akrab dengan warganya. Pemerintah Pandeglang pasti punya program-program unggulan untuk daerahnya. Sayangnya program itu sebatas di elit sedangkan warga biasa kita enggak tahu.

Ada pun kesempatan kerja dan lowongan kerja, saya pikir soal mental saja. Mental mau "menciptakan lapangan kerja" bukan menunggu "kesempatan kerja". Sebagai contoh adalah fenomena lahirnya "toko Madura" di sekitar kita. Hampir tiap sudut ada. 

Biasanya ekspansi bisnis itu dikuasai Alfamarta dan Indomaret, tetapi sekarang paham kedaerahan mengarah pada sektor ekonomi, contohnya itu Madura. Singkatnya, ini bukti lapangan kerja bisa diciptakan. Masalahnya bukan pada ada tidak pekerjaan, lebih kepada perkara sesuai keinginan enak atau tidak.

Dengan Bang Sejo sedikit membahas pula skripsinya menyoal masalah pembangunan tempat ibadah di Indonesia. Hal itu terjadi karena tumpang tindih aturan dan ketidakseriusan pemerintah menyelesaikannya. Melalui muktamar NU di Jombang menganjurkan agar DPR membuat undang-undang baru atau mungkin Perpres bagi pemerintah menjembatani persoalan akut ini.

Misalnya pembangunan Gereja di Cilegon kembali mencuat karena tidak diberi izin. Padahal apa salahnya, demikian kata sarjana hukum dari SMHN Banten ini. Kalau kita mengakui keberagaman maka pembangunan gereja tak boleh dipersulit. Jika dipersulit seperti yang sering terjadi, lahir "gereja-gereja kecil" di pemukiman warga yang mayoritas penduduknya muslim.

Saya sendiri setuju, kalau pembangunan gereja jangan dipersulit jika penganutnya cukup banyak. Itu pun di bangun di kota kabupaten saja agar tidak memantik konflik. selain itu harus tercipta komunikasi baik antar tokoh lintas agama dan pemerintah. Selanjutnya bagaimana masyarakat mampu di-edukasi dengan baik. Niscaya konflik tak terjadi.

 > Relawan Rumah Dunia

Saya tahu orangnya tapi lupa namanya. Saat menunggu jagung direbus kami berbincang-bincang. Katanya ia bertemu Teh Bela, puteri Mas Gong. Basa-basi gitu tapi responsnya kurang enak. Ia agak tersinggung. Jadila kami bicara seputar wanita.

"Pernah ada orang biasa bertanya kepada filosof tentang wanita. Filosof itu pun memberikan buku untuk dibuka. Orang biasa ini cepat membuka buku itu, dia pikir bakal ada jawabannya. Siapa nyana isinya kosong melompong, ia heran. Filosof itu tidak menjelaskan. Begitulah isi hati perempuan. Tak mudah ditebak." Jelas alumni pendidikan Islam di SMHB 2018 ini.

Saya menimpalinya tentang Gus Dur. Ya, Gus Dur pernah menyampaikan di saat diwawancara bahwa sering dibuat heran dengan tingkah istrinya. Kadang sekarang begini, besok lain lagi. Mungkin begitulah "buku polos" itu bahasa lain hati wanita memang agak sulit ditebak. Wajahnya tampak tersenyum manis entah hatinya seperti apa.

Tak hanya itu, kami membicarakan Tan Malaka yang ternyata tokoh yang ia idolakan. Membahas sedikit membahas buku Madilog-nya, sepak terjangnya dan akhir hidupnya. Kami bicarakan pula Kartini. Bahwa sekarang ada aktivis yang mengaku Kartini, padahal jauh.

Kalau disebut Kartini seharusnya para guru-guru yang menagajar di pelosok negeri. Terutama guru yang berada di pusaran konflik Papua sana, mereka punya kewajiban moral mendidik putera bangsa tetapi dihantui ketakutan akan menjadi korban penembakan. Layak sekali mereka diberi upah yang pantas dan penghargaan yang sesuai. Dan lain-lain yang kami bahas.

 >  Aldi Raihan Bugar

Dari Aldi saya tahu bagimana pulau Timur  sana. Aldi yang setahun di sana mengabdi ke masyarakat. Suka duka di sana. Terutama pada bagaimana literasi rendah, minat anak-anak cukup tinggi dalam literasi, diperparah dengan sarana pendukung yang tidak memadai. Melihat pelosok seperti melihat keterbelakangan.

Aldi pun cerita tentang toleransi, yang mana kata saya, apa bermasalah. Katanya sih gak ada. Cuma mungkin agak repot kalau waktu Salat, lantas ada tamu tak kunjung pulang. Dia hanya bisa menjamak, katanya, ya aneh memang, sejak kapan ada jamak sedang dia tengah mukim? 😊😴😂😂 

Belum kalau lagi makan, kan babi di sana jadi santapan sehari-hari. Memang orang sana memahami, cuma ada aja risih. Belum lagi anjing berkeliaran. Ada kisah lucu, pas sandalnya dijilat anjing. Itu kan harus disiram pakai tujuh basuhtapiSatu diantaranya pakai tanah.

Saat dia mau membasuh di pinggir pantai, anak didiknya melihat dan mengikutinya. Mereka heran melihat gurunya itu, eh kemudian mengikuti praktek membasuh itu. Dikira sedang main-main. Aldi hanya tepuk jidat! Hihi

Penutup

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tuliskan, tapi takut kebanyakan. Intinya, tahun ini terjadi agak mencolok bagi saya, pasalnya saya ikut menjadi panitia perayaan detik akhir 2023 dan detik awal 2024.

Pengalaman yang luar biasa. Saya menikmatinya sebagai proses kreatif saya mencari informasi, juga lebih dalam di dunia literasi, tepatnya di Rumah Dunia.

Saya melihat Mas Gong yang tetap gagah di usia tak lagi muda. Ada penulis hebat yang bersahaja, Kang Ade juga Kang Daru Pamungkas. Ada Pak Firman yang membumi. Mas Bewok. Ibu Tias yang dekat ke anak-anak KMRD, macam anaknya saja. Teh Bela yang terlihat manis, sibuk woro-wiri sama temannya lagi apa. 

Ada Teh Putri Ann yang sederhana dan sibuk dengan dunianya. Bang Rahmet yang sibuk dengan panitia acara, Kang Fajri yang santai walau agak rungsing. Uul, Ai dan lainya yang menikmati caranya.

Yang seru ada bule nyasar! Pokoknya, seru lah. Apalagi menjelang tidur, tiba-tiba saya kangen si gadis manis dari sebrang sana. Rindu Emak. Ah, lebay kali ya. Hihi. Semoga kita makin produktif dan berjaya ya, teman-teman. (***)

Pandeglang, 4 Januari 2024.  11.44

Posting Komentar

0 Komentar