Emang Kenapa Kalau Kiai atau Ustaz Kaya

Rumah Mewah Ustaz Solmed. (Diambil dari internet)

Baru-baru ini Ustaz Solmet menjadi sorotan dan perbincangan publik. Dalam satu kesempatan beliau pamer soal salah satu rumah mewahnya dengan angka cukup fantastis. Berangkat dari satu tak sedikit netijen penasaran sekaya apa sih ustaz yang sering nongol. Terjadilah pengungkapan yang kemudian diperbincangan secara jamaah. Katanya, ustaz kok gini, ustaz kok gitu dan bla-bla-bla.

Selain Ustaz Solmet, Habib Bahar bin Smith pun kebagian sorotan. Ustaz muda yang sering terlihat nyentrik dan garang ini memang kerapkali membagikan aktivitasnya. Misalnya tengah belanja, naik mobil mewahnya atau justeru tengah ngobrol lepas dengan santri dan pecintanya. Konon, beliau punya punya koleksi mobil yang lebih daru satu.

Terus apa salahnya?

Salahnya itu karena semua dibeli dari uang honor ceramah atau mengisi kajian agama. Istilah awam itu salam tempel. Apa salam tempel itu? Salam yang saling menempelkan kedua tangan nanti di antaranya ada amplop yang berisi uang. Seharusnya uang itu digunakan untuk keperluan dan kepentingan agama, lah kok dipakai untuk memperkaya diri. Tentu ini masalah.

Banyak penceramah atau ustaz tapi tak sekaya itu. Lagian mereka hidup sederhana, bersahaja dan hemat. Tidak seperti sebagain ustaz sekarang yang suka mempertontonkan kekayaan, di kira selebiritis ya. Demikian suara netijen

Menjadi ustaz itu kadang dilematis. Kita ingin hidup sederhana dan tak tergoda ikhwal kedunian dicap miskin. Dicap jelek. Dianggap seperti pengemis amalan. Kita mau hidup seperti orang lain apa adanya, bisa kerja tapi mampu menjalankan ajaran agama selayaknya kiai ustaz normal, lah dianggap ustaz cinta dunia.

Jadi, apa dan kenapa. Apa setiap tokoh agama dan penyebar kebaikan harus selalu miskin; kurang gizi, kurang makan, dan kurang pendapatan. Cukupnya hanya kasih sayang. Lantas saat ada sebagain dari mereka yang kekurangan, menahan rasa malu dengan meminta ala kadar pada jamaah atau anak didiknya dianggap negatif pula.

Padahal di masa kini kita sudah sama-sama maklum, teknologi informasi merasuk ke berbagai lini kehidupan. Hal ini merasuk pula pada kesadaran kita, mudah sekali menciptakan lapangan kerja hanya saja resiko. Resikonya bisa rugi, ditipu atau untung besar. Tergantung gimana kita memproyesikannya.

Dalam kasus ini, tidak semua ustaz atau kiai itu kaya hanya mengandalkan pemberiaan saja. Banyak kok dari mereka yang membuka usaha, membuka bisnis atau mengelola jasa dalam skala besar sehingga itu menambah puing-puing rupiah. Selain itu, masih banyak lagi. Semua mungkin dan bisa saja terjadi.

Sebagai contoh misalnya, Aa Gym dan Ustaz Felix Siau. Selain aktif berdakwah, keduanya juga punya bisnis untuk menunjang kebutuhan hariannya. Ustaz Felix jualan baju. Aa Gym juga berbisnis bersama kawan seperjuangannya di pesantrennya.

Di beberapa pesantren besar pun sudah tumbuh semangat beriwarausaha. Pesantren mengajarkan santrinya pintar ngaji juga survive dengan kehidupannya. Mapan secara keilmuawan juga mapan secara ekonomi. Kelak, saat alumninya mengabdi di masyarakat tidak menjadi beban.

Lagian di masa lalu, banyak pula kok ulama yang kaya raya. Misalnya, Imam Ibnu Hajar al-asqolani dan Imam Hasan As-sybhani. Diceritakan dalam suatu kisah, Imam Hajar ini selain qodi (hakim) juga seorang ulama masyhur. Bila berpergian beliau naik kereta kencana yang mewah nan menawan. Belum lagi rombongan pengawal.

Di lain tempat, ada laki-laki setengah baya beragama Yahudi berjualan minyak tanah. Kulit yang gosong, badan bau dan keadaan yang cukup memprihatinkan. Beda mencolok dengan Ibnu Hajar. Kebetulan saat itu sang Imam lewat sana. Ia yang melihatnya dibuat heran sekaligus mangkel, maka ia datangi ulama besar itu dan disampaikan apa yang ia rasakan,

"Wahai Syaikh, Nabi Anda bilang, dunia ini penjara bagi seorang muslim dan surga bagi orang kafir. Akan tetapi Syaikh, lihatlah, saya kafir justru miskin sedangkan anda muslim dengan kekayaan begitu banyak," ujar laki-laki beragama Yahudi itu.

Seketika Imam Ibnu Hajar menangis tersedu, "Nabi kami benar wahai saudara, sebab sampai kini aku merasa semua kekayaan aku miliki adalah penjara bagiku." Demikian ujarnya. Mendengar kalam dan tangis Ulama itu, ia terenyuh. Lantas ia masuk Islam.

Sedangkan Imam Hasan Sibhani adalah murid dari Imam Ibnu Hanifah dan selalu Ulama besar yang melanjutkan madzhab gurunya itu. Dikisahkan Imam Syafie pernah berkunjung ke ulama besar besar ini, dan Imam Hasan berteman dengan Imam Malik.

Singkat cerita, sampai beliau ke rumahnya, lantas beliau dibuat kaget. Pikir beliau, Imam Hasan itu ya, Ulama biasa dengan keadaan ekonomi sederhana. Ternyata, beliau ulama ya konglomerat di negerinya. Apalagi saat beliau temui, Ulama besar itu tengah menghitung uangnya tepat di depan Imam Syafie. Berkecamuk pikiran negatif Imam Syafie, lantas apa tanggapan Imam Hasan? Walau Imam Syafie tak berujar tapi Ulama besar itu tahu isi hatinya.

"Apa tanggapanmu kalau harta ini dipegang oleh orang yang tidak pernah salat, suka mabuk dan banyak maksiat, apa itu baik?" 

"Tidak baik," singkat Imam Syafie menjawab.

"Lantas, bagaimana kalau harta ini diberikan kepada ia yang suka ibadah. Hartanya di tasaruf-kan untuk kepentingan agama. Apa itu baik?"

"Ya, tentu baik." Begitu jawab Imam Syafie.

Dari dua kisah ini kita bisa menyimpulkan bahwa kiai atau ustaz memiliki kekayaan itu tidak masalah. Boleh-boleh saja. Selama yang bersangkutan mendapatkan dengan cara yang benar dan dijalankan pada jalan yang benar. Justeru itu baik agar kualitas dakwahnya lebih mandiri dan ditumpangi kepentingan tertentu. 

Sekalipun demikian, memang kurang elok sih pendakwah yang seharusnya menampilkan sosok yang sederhana lagi bijak, mengajak ummat pada praktek Islam yang kontekstual, kok pamer kemolekan dunia dengan dan seakan-akan kurang peka dengan tugas besarnya sebagai pendidik.

Lagi-lagi, ini hanya soal etika. Akhlak yang perlu diperhatikan. Adapun soal hak dan wewenang dikembalikan pada masing-masing orangnya. Artinya, sebagai tokoh publik yang pasti digugu oleh banyak orang, maka pahamilah agar orang mencontoh darinya kebaikan bukan sebaliknya keburukan. Wallahu 'alam. (***)

Pandeglang, 28 Mei 2024   17.43






Posting Komentar

0 Komentar