Betapa dunia ini sesumgguhnya persinggahan, maka hanya orang yang sadar mampu selamar darinya. (Imam Ghozali)
Beberapa hari lalu, tepatnya di akhir tahun 2024, senior di komunitas Rumah Dunia wafat. Saya tidak berani menyebutnya guru karena secara batin belum berguru dan secara praktek juga tidak belajar secara langsung. Jadi, ketika mengaku beliau guru sama saja ada ikatan sakral di antara kami. Tentu itu pengkultusan semu, bagaimana nanti kalau ada yang mempertanyakan, belajar sejauh mana sama beliau?
Meskipun bisa saja mengklaim, beberapa waktu pernah kok beliau mengajari kami, cuma pertanyaannya ialah, seberapa lama seseorang bisa dicap seorang murid? Kalau durasi, ya berapa durasinya? Kalau di hitung per kalimat berapa kalimat yang bisa diajarkan. Atau semua hitung-hitungan liar saja yang entah siapa merumuskan tanpa ada aturan baku di baliknya.
Untuk sampai pada kesimpulan pertama, mungkin yang perlu kita cari ialah siapa guru dan siapa yang bisa disebut murid. Sebab, tiap orang bisa menyebut guru dan mencap pernah mencap berguru. Kalau adat di pesantren gampang saja, karena ada istilah sanad keguruann, nah, bagaimana untuk kasus yang bukan pesantren itu. Apa harus disamaratakan saja, atau justeru itu klaim saja.
Guru itu secara harfiah pemberi ilmu. Ia dengan kebesaran jiwanya membagikan ilmunya untuk tiap manusia, yang mau pun yang tidak. Bagi guru, alasan seseorang tak menerima apa yang dia ajarkan tak melulu ia menolaknya, bisa saja penolakan itu karena mood-nya lagi kacau atau bisa saja karena metode pembelajarannya yang kurang cocok bagi si pendengar.
Masalahnya di sini bukan seutuhnya pada guru, bisa pula pada si pendengar yang dicap murid ini. Karena itu mencari penyelesaiannya terletak pada keduanya, bukan pada satu pihak. Di sini pentingnya menilai menyeluruh agar tak terjadi penyimpang siuran.
0 Komentar
Menyapa Penulis